Dari beberapa artikel atau tulisan yang pernah penulis baca, ada beragam versi cerita tentang SI RAJA LONTUNG, namun pada dasarnya hampir bersamaan hanya peletakan ataupun urutan dalam "tarombo" atau silsilah yang ada perbedaan. Berikut ini adalah kisah atau legendanya :
Si RAJA BATAK mempunyai 2 (dua) orang keturunan, yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Sumba (Isumbaon). Selanjutnya dari keturunannya Guru Tatea Bulan ini mempunyai 5 (lima) putra dan 4 (empat) putri yaitu :
Raja Biak-biak (putra)
Tuan Saribu Raja (putra)
Siboru pareme (putri)
Limbong Mulana (putra)
Siboru Paromas (putri)
Sagala Raja (putra)
Siboru Biding Laut (putri)
Malau Raja (putra)
Nan Tinjo (putri)
Setelah putra - putri dari Raja Isumbaon bertumbuh dewasa, serta masih langkanya manusia maupun tempat tinggal yang terisolasi antara satu perkampungan dengan perkampungan lain sangat jauh, tanpa disadari menyebabkan terjadinya hubungan INCEST (perkawinan satu darah). Hubungan atau perkawinan incest ini terjadi antara Tuan Saribu Raja dengan Si Boru Pareme.
Setelah sekian lama hubungan ini terjadi menjadikan Si Boru Pareme mengandung/ hamil dan hal ini menjadikan aib dalam keluarga turunan Raja Isumbaon. Dalam adat dan kebudayaan Batak hal ini adalah TABU dan DILARANG KERAS, maka hukumannya adalah MATI.
Melihat aib ini saudara/ saudari dari Tuan Saribu Raja dan Si Boru Pareme merasa marah dan berniat untuk menghukum mati kedua saudara/i nya itu. Namum ternyata tak satupun dari mereka yang mampu/ tega untuk menghukum mati. Akhirnya di putuskanlah untuk membuang mereka ke hutan secara terpisah.
Si Boru Pareme pun dibuang ke sebuah hutan di atas Sabulan sekarang, satu daerah yang dianggap sebagai sarang harimau. Biarlah harimau itu yang membunuhnya, kalau tidak mati akibat kelaparan dan deritanya sendiri, begitulah pikiran Limbong Mulana dan adik-adiknya.
Suatu ketika, Siboru Pareme yang sudah hamil tua dan kesepian ini, dikejutkan oleh seekor harimau yang mengaum mendekatinya. Namun karena sudah terbiasa melihat harimau dan penderitaan yang dialaminya, ia tidak takut lagi dan pasrah untuk di mangsa. Setelah menunggu beberapa saat, ternyata harimau itu tidak memangsanya. Harimau tadi membuka mulutnya lebar-lebar dihadapan Siboru Pareme seakan meminta bantuan. Dari jarak dekat Siboru Pareme melihat ada sepotong tulang yang tertancap di rahang harimau itu. Timbul rasa iba dihati Siboru Pareme. Tanpa ragu Siboru Pareme mencabut potongan tulang itu dan di buangnya. Setelah itu harimau yg dikenal buas itu menjadi jinak kepada Siboru Pareme. Sejak itu harimau yang dikenal BABIAT SITELPANG setiap pagi dan sore mengantar daging hasil buruannya ketempat Siboru Pareme. Budi baik yang diterimanya dari wanita yang sedang hamil tua itu menumbuhkan rasa sayang BABIAT SITELPANG yang diwujudkannya dengan tetap menjaganya hingga melahirkan seorang putra dan diberilah namanya SI RAJA LONTUNG.
Si Raja Lontung hidup dan bertumbuh dewasa bersama ibunya ditengah hutan sekitar Ulu Darat selalu didampingi oleh BABIAT SITELPANG. Tidak seorang pun manusia lain yang mereka kenal. Namun Siboru Pareme selalu memberi pengetahuan kemasyarakatan kepada anaknya termasuk partuturan adat batak karena ibunya tidak ingin anaknya itu menderita lagi seperti aib yang diterimanya selama ini.
Setelah SIRAJA LONTUNG beranjak dewasa dan sudah bisa menikah, ia bertanya kepada ibunya di mana kampung tulangnya. Ia sangat berniat menikah dengan putri tulangnya (paribannya). Siboru Pareme merasa sedih mendengar hal itu, hatinya gusar, kalau diberitahu yang sebenarnya. Ia takut tulangnya akan membuang dan membunuh anaknya itu, Siboru Pareme selalu berupaya mengelak dari pertanyaan anaknya.
Namun karena tidak ingin anaknya menjadi korban kemarahan tulangnya dan Siboru Pareme yakin dan tahu bahwa Si Raja Lontung tidak dapat menemukan seorang perempuan jadi isterinya di hutan itu, niscaya dia akan mati lajang tanpa keturunan, ia pun mengorbankan dirinya untuk dikawini anak kandungnya sendiri, akhirnya Siboru Pareme membuat siasat.
Pada satu saat yang baik Siboru Pareme menyerahkan cincinnya pada Si Raja Lontung dengan pesan "Pergilah ke tepian yang ada di kejauhan sana. Tunggulah disana hingga paribanmu turun mengambil air. Dia mirip sekali dengan saya hingga sulit dibedakan. Pasangkan cincin ini pada jarinya dan cincin ini pun harus pas betul. Bila hal ini telah terbukti bujuklah dia menjadi isterimu". Selanjutnya Siboru pareme menerengkan jalan berliku yang harus ditempuh anaknya.
Si Raja Lontung pun berangkat menapaki jalan berliku seperti yang telah dirunjuki oleh ibunya. Sementara itu si Boru Pareme pun bernagkat ke tepian yang sama. Dia mengambil jalan pintas agar dapat mendahului anaknya. Setibanya disana dia pun mendandani dirinya sedemikian rupa hingga nampak lain dan lebih muda. pada hari anaknya tiba, dia sudah siap.
Si Raja Lontung pun tiba di tempat seperti yang dipesankan ibunya itu. Ia mendengar ada manusia tengah mandi di pansuran itu. “Berarti benar apa yang diberitahu ibuku”, katanya dalam hati, sambil mengintip dari celah-celah pohon. Ia tidak sabar terlalu lama lagi, karena hari sudah gelap dan langsung menghampiri perempuan tersebut.
“Bah benar juga yg dibilang ibuku, tidak ada ubahnya seperti dia”, katanya dalam hati. “Santabi boru ni tulang, saya ingin menyampaikan pesan ibuku”, kata Si Raja Lontung dan menggapai tangan perempuan itu serta meremas jemari perempuan yang disebut paribannya itu, dan menyelipkan cincin ibunya ke jari manis dan ternyata pas. “Berarti tidak salah lagi, kaulah paribanku itu. Wajahmu seperti ibuku dan cincin ibuku cocok dijari manismu,” lanjutnya merasa yakin. Lalu ia mengajak perempuan tersebut untuk dijadikan istrinya dan memperkenalkannya kepada ibunya.
Sesampainya di hutan tempat tinggal SIRAJA LONTUNG, ia terkejut sebab ibunya tidak lagi di jumpai di rumahnya. Ia pun teringat akan pesan ibunya yang berniat mencari ayahnya SARIBU RAJA kearah Barus. Keduanya hidup serumah dan menjadi suami istri, (maka bagi Si Boru Pareme terjadi lagi kawin sumbang atau INCEST yang kedua kali).
Dari hasil perkawinan Si Raja Lontung dan Si Boru Pareme melahirkan turunan sebagai berikut :
Ompu Tuan Situmorang (putra)
Sinaga Raja (putra)
Pandiangan (putra)
Nainggolan (putra)
Simatupang (putra)
Aritonang (putra)
Siregar (putra)
Siboru Amak Pandan (putri) kawin dengan Sihombing dan
Siboru Panggabean (putri) kawin dengan SIMAMORA.
Ketujuh putra ini kemudian menurunkan marga-marga berikutnya. satu hal yang unik ialah bahwa ketujuh marga Lontung ini tidak merasa puas bila tidak menyertakan kedua boru itu dalam bilangan dan kelompoknya. Inilah cikal bakal sebutan “Lontung Sisia Sada Ina Pasia Boruna Sihombing - SIMAMORA. Kalau dari Si Raja Lontung (namarpariban), maka Sihombing lebih tua, tetapi karena Simamora dan Sihombing abang-adik kandung, maka Simamora lah yang tertua.
Dicopas Dari : Sini
Si RAJA BATAK mempunyai 2 (dua) orang keturunan, yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Sumba (Isumbaon). Selanjutnya dari keturunannya Guru Tatea Bulan ini mempunyai 5 (lima) putra dan 4 (empat) putri yaitu :
Raja Biak-biak (putra)
Tuan Saribu Raja (putra)
Siboru pareme (putri)
Limbong Mulana (putra)
Siboru Paromas (putri)
Sagala Raja (putra)
Siboru Biding Laut (putri)
Malau Raja (putra)
Nan Tinjo (putri)
Setelah putra - putri dari Raja Isumbaon bertumbuh dewasa, serta masih langkanya manusia maupun tempat tinggal yang terisolasi antara satu perkampungan dengan perkampungan lain sangat jauh, tanpa disadari menyebabkan terjadinya hubungan INCEST (perkawinan satu darah). Hubungan atau perkawinan incest ini terjadi antara Tuan Saribu Raja dengan Si Boru Pareme.
Setelah sekian lama hubungan ini terjadi menjadikan Si Boru Pareme mengandung/ hamil dan hal ini menjadikan aib dalam keluarga turunan Raja Isumbaon. Dalam adat dan kebudayaan Batak hal ini adalah TABU dan DILARANG KERAS, maka hukumannya adalah MATI.
Melihat aib ini saudara/ saudari dari Tuan Saribu Raja dan Si Boru Pareme merasa marah dan berniat untuk menghukum mati kedua saudara/i nya itu. Namum ternyata tak satupun dari mereka yang mampu/ tega untuk menghukum mati. Akhirnya di putuskanlah untuk membuang mereka ke hutan secara terpisah.
Si Boru Pareme pun dibuang ke sebuah hutan di atas Sabulan sekarang, satu daerah yang dianggap sebagai sarang harimau. Biarlah harimau itu yang membunuhnya, kalau tidak mati akibat kelaparan dan deritanya sendiri, begitulah pikiran Limbong Mulana dan adik-adiknya.
Suatu ketika, Siboru Pareme yang sudah hamil tua dan kesepian ini, dikejutkan oleh seekor harimau yang mengaum mendekatinya. Namun karena sudah terbiasa melihat harimau dan penderitaan yang dialaminya, ia tidak takut lagi dan pasrah untuk di mangsa. Setelah menunggu beberapa saat, ternyata harimau itu tidak memangsanya. Harimau tadi membuka mulutnya lebar-lebar dihadapan Siboru Pareme seakan meminta bantuan. Dari jarak dekat Siboru Pareme melihat ada sepotong tulang yang tertancap di rahang harimau itu. Timbul rasa iba dihati Siboru Pareme. Tanpa ragu Siboru Pareme mencabut potongan tulang itu dan di buangnya. Setelah itu harimau yg dikenal buas itu menjadi jinak kepada Siboru Pareme. Sejak itu harimau yang dikenal BABIAT SITELPANG setiap pagi dan sore mengantar daging hasil buruannya ketempat Siboru Pareme. Budi baik yang diterimanya dari wanita yang sedang hamil tua itu menumbuhkan rasa sayang BABIAT SITELPANG yang diwujudkannya dengan tetap menjaganya hingga melahirkan seorang putra dan diberilah namanya SI RAJA LONTUNG.
Si Raja Lontung hidup dan bertumbuh dewasa bersama ibunya ditengah hutan sekitar Ulu Darat selalu didampingi oleh BABIAT SITELPANG. Tidak seorang pun manusia lain yang mereka kenal. Namun Siboru Pareme selalu memberi pengetahuan kemasyarakatan kepada anaknya termasuk partuturan adat batak karena ibunya tidak ingin anaknya itu menderita lagi seperti aib yang diterimanya selama ini.
Setelah SIRAJA LONTUNG beranjak dewasa dan sudah bisa menikah, ia bertanya kepada ibunya di mana kampung tulangnya. Ia sangat berniat menikah dengan putri tulangnya (paribannya). Siboru Pareme merasa sedih mendengar hal itu, hatinya gusar, kalau diberitahu yang sebenarnya. Ia takut tulangnya akan membuang dan membunuh anaknya itu, Siboru Pareme selalu berupaya mengelak dari pertanyaan anaknya.
Namun karena tidak ingin anaknya menjadi korban kemarahan tulangnya dan Siboru Pareme yakin dan tahu bahwa Si Raja Lontung tidak dapat menemukan seorang perempuan jadi isterinya di hutan itu, niscaya dia akan mati lajang tanpa keturunan, ia pun mengorbankan dirinya untuk dikawini anak kandungnya sendiri, akhirnya Siboru Pareme membuat siasat.
Pada satu saat yang baik Siboru Pareme menyerahkan cincinnya pada Si Raja Lontung dengan pesan "Pergilah ke tepian yang ada di kejauhan sana. Tunggulah disana hingga paribanmu turun mengambil air. Dia mirip sekali dengan saya hingga sulit dibedakan. Pasangkan cincin ini pada jarinya dan cincin ini pun harus pas betul. Bila hal ini telah terbukti bujuklah dia menjadi isterimu". Selanjutnya Siboru pareme menerengkan jalan berliku yang harus ditempuh anaknya.
Si Raja Lontung pun berangkat menapaki jalan berliku seperti yang telah dirunjuki oleh ibunya. Sementara itu si Boru Pareme pun bernagkat ke tepian yang sama. Dia mengambil jalan pintas agar dapat mendahului anaknya. Setibanya disana dia pun mendandani dirinya sedemikian rupa hingga nampak lain dan lebih muda. pada hari anaknya tiba, dia sudah siap.
Si Raja Lontung pun tiba di tempat seperti yang dipesankan ibunya itu. Ia mendengar ada manusia tengah mandi di pansuran itu. “Berarti benar apa yang diberitahu ibuku”, katanya dalam hati, sambil mengintip dari celah-celah pohon. Ia tidak sabar terlalu lama lagi, karena hari sudah gelap dan langsung menghampiri perempuan tersebut.
“Bah benar juga yg dibilang ibuku, tidak ada ubahnya seperti dia”, katanya dalam hati. “Santabi boru ni tulang, saya ingin menyampaikan pesan ibuku”, kata Si Raja Lontung dan menggapai tangan perempuan itu serta meremas jemari perempuan yang disebut paribannya itu, dan menyelipkan cincin ibunya ke jari manis dan ternyata pas. “Berarti tidak salah lagi, kaulah paribanku itu. Wajahmu seperti ibuku dan cincin ibuku cocok dijari manismu,” lanjutnya merasa yakin. Lalu ia mengajak perempuan tersebut untuk dijadikan istrinya dan memperkenalkannya kepada ibunya.
Sesampainya di hutan tempat tinggal SIRAJA LONTUNG, ia terkejut sebab ibunya tidak lagi di jumpai di rumahnya. Ia pun teringat akan pesan ibunya yang berniat mencari ayahnya SARIBU RAJA kearah Barus. Keduanya hidup serumah dan menjadi suami istri, (maka bagi Si Boru Pareme terjadi lagi kawin sumbang atau INCEST yang kedua kali).
Dari hasil perkawinan Si Raja Lontung dan Si Boru Pareme melahirkan turunan sebagai berikut :
Ompu Tuan Situmorang (putra)
Sinaga Raja (putra)
Pandiangan (putra)
Nainggolan (putra)
Simatupang (putra)
Aritonang (putra)
Siregar (putra)
Siboru Amak Pandan (putri) kawin dengan Sihombing dan
Siboru Panggabean (putri) kawin dengan SIMAMORA.
Ketujuh putra ini kemudian menurunkan marga-marga berikutnya. satu hal yang unik ialah bahwa ketujuh marga Lontung ini tidak merasa puas bila tidak menyertakan kedua boru itu dalam bilangan dan kelompoknya. Inilah cikal bakal sebutan “Lontung Sisia Sada Ina Pasia Boruna Sihombing - SIMAMORA. Kalau dari Si Raja Lontung (namarpariban), maka Sihombing lebih tua, tetapi karena Simamora dan Sihombing abang-adik kandung, maka Simamora lah yang tertua.
Dicopas Dari : Sini