Sopo Parsaktian, Ilham Raja Isumbaon

Pusuk Buhit sebuah gunung berbentuk kerucut yang tumpul dengan ketinggian sekitar 1900 meter di atas permukaan laut, tertinggi di antara deretan pegunungan sekitarnya, terletak di barat pantai Danau Toba, dekat Pangururan. Sebahagian kaki gunung berbatasan dengan Tao Toba, sisi lainnya berlereng tebing curam berbatasan dengan lembah yang memberi jarak dengan deretan pegunungan Bukit Barisan.
Dari Dolok Pusuk Buhit (Gunung Pusuk Buhit) asal-usul leluhur Suku Batak yang bermukim di Toba, diyakini bermula. Menurut mitologi Batak, Pusuk Buhit sebagai bukit sakral tempat leluhur suku Batak diturunkan dari kayangan (Banua Ginjang), dan leluhur Si Raja Batak “bertemu” dengan Ompu Mulajadi Na Bolon.

Jika diperkirakan, mitologi dalam bentuk turi-turian tersebut sebagai simbolisme yang menyiratkan bahwa Si Raja Batak tiba di puncak Dolok Pusuk Buhit dan menyampaikan tonggo (doa) ucapkan syukur, permohonan kepada Ompu Mulajadi Na Bolon dan harapan untuk membangun kembali permukiman dan peradaban baru. Sebagaimana kepercayaan kuno suku-suku bahwa pucak gunung tertinggi merupakan tempat sakral untuk menyampaikan doa.
Di lereng Pusuk Buhit, terdapat lembah yang kemudian dijadikan sebagai permukiman (huta ) yang strategis, terlindungi oleh deretan pegunungan, bagaikan benteng alam yang aman dan tertutup, dan puncak gunung bagaikan menara pengawas untuk kehadiran pihak lain (termasuk musuh). Dari pucak Pusuk Buhit dapat memandang ke berbagai penjuru deretan pegunungan dan kebiruan Tao Toba.



Keberadaan Dolok Pusuk Buhit saat ini masih tergolong terjaga dari kemajuan dan perkembangan jaman. Ini dikarenakan Bangsa Batak masih mensakralkan Dolok Pusuk Buhit sebagai tempat ziarah. Menurut mitologi batak, Pusuk Buhit dulunya merupakan awal mula persebaran perkampungan Bangsa Batak yang merupakan keturunan dari Si Raja Batak. Diyakini bahwa keseluruhan Dolok Pusuk Buhit dahulunya terdiri dari huta-huta (perkampungan) bagi keturunan Si Raja Batak.

Selain pucuk (puncak) Pusuk Buhit yang oleh Bangsa Batak dianggap sakral karena dianggap merupakan tempat kediaman Si Raja Batak dahulunya, ada satu tempat tepatnya berada di badan Dolok Pusuk Buhit yang juga dahulunya dianggap merupakan huta Raja Isumbaon (perkampungan Raja Isumbaon) yang merupakan anak (putra) kedua setelah Guru Tatea Bulan dari Si Raja Batak. Berada disisi punggungan Dolok Pusuk Buhit, sebelah Timur Laut pada ketinggian berkisar 1500 mdpl yang merupakan sebuah harangan (lembah) yang dikelilingi oleh tebing diyakini dahulunya merupakan huta (kampung) Raja Isumbaon. Ditempat ini sudah setahun berdiri dan masih dalam tahap penyempurnaan sebuah sopo yang dibangun oleh seorang donatur dari Kota Medan dan dibantu oleh 8 orang relawan.

Melalui suatu perjalanan trekking ke Dolok Pusuk Buhit pada Jumat 5 Oktober 2012 lalu, bersama rekan Harianto Simanjuntak, Ramcheys Siahaan, Harri Ovi Siagian dan Ganda Manurung, Gobatak dapat menghimpun sejumlah informasi tentang keberadaan dan pembangunan sopo (para pekerja menyebutkan Parsaktian) di huta (kampung) Raja Isumbaon. Sudah setahun sopo itu berdiri dan masih dalam penyempurnaan. Seluruh biaya pembangunan parsaktian itu didonasi oleh Hendri Naibaho berdomisili di Kota Medan.

Pembangunan parsaktian tersebut dilatar belakangi kerinduan Hendri Naibaho akan Ompu Isumbahon di Dolok Pusuk Buhit sehingga memulai pencarian huta Ompu Isumbaon. Seorang bermarga Siregar yang merupakan salah seorang ahli bangunan yang kami temui di lokasi pembangunan parsaktian, menuturkan bahwa beliau (Hendri Naibaho) telah lama mencari mual (sumur) yang merupakan tanda huta Ompu Isumbaon hingga akhirnya sampai di mual (sumur) tersebut dan berniat membangun sebuah tempat untuk berkumpul/ berziarah di kampung Ompu Isumbaon.

Banyak cerita menarik yang kami dapat dari para ahli bangunan yang mereka sendiri menyebutkan diri mereka adalah relawan dalam pembangunan parsaktian tersebut. Mereka menyebut mereka relawan dikarenakan mereka sendiri adalah orang-orang yang terpanggil apa itu melalui ilham yang didapat melalui mimpi ataupun memang niat dari hati yang benar-benar juga ingin mencari huta Ompu Isumbaon tersebut.

Mereka menuturkan, bahwa pembangunan parsaktian tersebutlah yang mempertemukan mereka dimana mereka sendiri berasal dari daerah-daerah yang berbeda seperti Tarutung, Medan, Tiga Lingga ataupun dari lereng kaki Dolok Pusuk Buhit tersebut. Mereka datang dari daerah yang berbeda dan juga mempunyai keahlian yang berbeda dalam hal bangunan. Mereka menuturkan bahwa Hendri Naibaho tidak pernah mencari mereka tetapi mereka sendiri yang datang ke tempat pembangunannya. Mereka juga menuturkan, bahwa ilham yang didapat dari Ompu Isumbaon sendiri yang memanggil mereka untuk bergabung dalam pembangunan parsaktian itu.

Tertarik tentang ilham yang didapat oleh para relawan dari Ompu Isumbaon, beberapa pertanyaan kami mendapatkan jawaban yang sangat menarik. Delapan orang para relawan yang bekerja dalam pembangunan parsaktian, tidak ada satu orang pun mempunyai keahlian yang sama. Mereka menuturkan, ilham yang didapat dari Ompu Isumbaon yang memanggil mereka sehingga mereka merupakan satu kesatuan yang lengkap dalam pembangunan parsaktian tersebut. Terpanggil dalam pembangunan parsaktian, mereka membawa keahlian masing-masing dalam hal ilmu bangunan.

Hanya terdapat satu orang ahli dalam pemasangan keramik, hanya terdapat satu orang ahli dalam pengecoran, hanya terdapat satu orang ahli dalam pemahatan dan begitulah mereka dalam satu tahun ini bahu membahu dalam menyelesaikan parsaktian tersebut. Mereka juga menuturkan dalam sehari-harinya disela pembangunan parsaktian tersebut, mereka akan mendapatkan petunjuk dari Ompu Isumbaon sesuatu pekerjaan yang mesti mereka kerjakan. Ompu sendirilah yang menunjukkan salah seorang ataupun beberapa untuk membersihkan area disekitar berdirinya parsaktian. Tentunya mereka mendapat petunjuk itu langsung dari Ompu melalui mimpi mereka.

Jika salah seorang ditunjuk untuk mababbat (membersihkan semak belukar) ia haruslah melakukannya seorang diri tanpa ada satu orang teman pun yang turut membantu, tutur salah seorang dari mereka. Begitulah keseharian kehidupan mereka dalam pembangunan parsaktian di huta Ompu Isombaon. Tiada satupun mereka yang merasa diberatkan dari setiap pekerjaan yang diberikan.

Tertarik dari hal lain soal ilham yang diberikan oleh Ompu Isumbaon, mereka sendiri mempunyai nama masing-masing yang Ompu itu sendiri yang memberikan ataupun dalam sebuah acara di puccuk (puncak) Dolok Pusuk Buhit, mereka juga mempunyai tugas masing-masingnya dalam membawa silua ke puncak ataupun dalam mengawasi tiap anggota yang dipimpinnya untuk sampai ke puncak. Sedikit soal mistik, mereka juga menceritakan, bahwa harangan (lembah) tempat didirikannya sopo parsaktian tersebut dulunya sempat ingin di olah oleh warga, namun akhirnya gagal, konon dikarenakan Ompu Isombaon tidak menginginkan adanya hal itu. Begitulah penuturan mereka.

Sumber : GoBatak

Nilai Filosofi Rumah Adat Batak

Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.

Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.

Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.

Proses Mendirikan Rumah.

Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya yang diperlukan.

Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.

Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.

Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.

Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.

Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.

Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit jungjung.

Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan” yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.

Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna” dan “hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.

Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yang letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.

Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.

Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati.

“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.

Pemanfaatan Ruangan

Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”

Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yang dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.

Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.

Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai “Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.

Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para�para dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.

Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.

Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.

Gorga

Disebelah depan rumah dihiasi dengan oramen dalam bentuk ukiran yang disebut dengan “gorga” dan terdiri dari beberapa jenis yaitu gorga sampur borna, gorga sipalang dan gorga sidomdom di robean.

Gorga itu dihiasi (dicat) dengan tlga warna yaitu wama merah (narara), putih (nabontar) dan hitam (nabirong). Warna merah melambangkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan. Warna putih melambangkan ketulusan dan kejujuran yang berbuah kesucian. Wama hitam melambangkan kerajaan dan kewibawaan yang berbuah kepemimpinan.

Sebelum orang Batak mengenal cat seperti sekarang, untuk mewarnai gorga mereka memakai “batu hula” untuk warna merah, untuk warna putih digunakan “tano buro” (sejenis tanah liat tapi berwana putih), dan untuk warna hitam didapat dengan mengambil minyak buah jarak yang dibakar sampai gosong. Sedangkan untuk perekatnya digunakan air taji dari jenis beras yang bernama Beras Siputo.

Disamping gorga, rumah Batak juga dilengkapi dengan ukiran lain yang dikenal sebagai “singa-singa”, suatu lambang yang mengartikan bahwa penghuni rumah harus sanggup mandiri dan menunjukkan identitasnya sebagai rnanusia berbudaya. Singa-singa berasal dari gambaran “sihapor” (belalang) yang diukir menjadi bentuk patung dan ditempatkan di sebelah depan rumah tersebut. Belalang tersebut ada dua jenis yaitu sihapor lunjung untuk singa-singa Ruma dan sihapor gurdong untuk rumah Sopo.

Hal ini dikukuhkan dalam bentuk filsafat yang mengatakan “Metmet pe sihapor lunjung di jujung do uluna” yang artinya bahwa meskipun kondisi dan status sosial pemilik rumah tidak terlalu beruntung namun harus selalu tegar dan mampu untuk menjaga integritas dan citra nama baiknya.

Perabot Penting

Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain adalah “ampang” yang berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi dan beras. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot pinungka ni na parjolo, ihuthononton sian pudi”. Pengertian yang dikandungnya adalah bahwa apa bentuk adat yang telah lazim dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat dilestarikan oleh generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa “panguhatan” adalah sebagai tempat air untuk keperluan memasak.

Di sebelah bagian atas kiri dan kanan yang letaknya berada di atas pandingdingan dibuat “pangumbari” yang gunanya sebagai tempat meletakkan barang-barang yang diperlukan sehari-hari seperti kain, tikar dan lain-lain. Falsafah hidup yang disuarakannya adalah “Ni buat silinjuang ampe tu pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni ampehon tali-tali”.

Untuk menyimpan barang-barang yang bernilai tinggi dan mempunyai harga yang mahal biasanya disimpan dalam “hombung”, seperti sere (emas), perak, ringgit (mata uang sebagai alat penukar), ogung, dan ragam ulos seperti ragi hotang, ragi idup, ragi pangko, ragi harangan, ragi huting, marmjam sisi, runjat, pinunsaan, jugia so pipot dan beraneka ragam jenis tati-tali seperti tutur-tutur, padang ursa, tumtuman dan piso halasan, tombuk lada, tutu pege dan lain sebagainya.

Karena orang Batak mempunyai karakter yang mengagungkan keterbukaan maka di kala penghuni rumah meninggal dunia dalam usia lanjut dan telah mempunyai cucu maka ada acara yang bersifat kekeluargaan untuk memeriksa isi hombung. Ini disebut dengan “ungkap hombung” yang disaksikan oleh pihak hula-hula.

Untuk keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana, ada tempat menyimpan barang-barang yang disebut dengan “rumbi” yang fungsinya hampir sama dengan hombung hanya saja ukurannya lebih kecil dan tidak semewah hombung.

Sebagai tungku memasak biasanya terdiri dari beberapa buah batu yang disebut “dalihan”. Biasanya ini terdiri dari 5 (lima) buah sehingga tungku tempat memasak menjadi dua, sehingga dapat menanak nasi dan lauk pauk sekaligus.

Banyak julukan yang ditujukan kepada orang yang empunya rumah tentang kesudiannya untuk menerima tamu dengan hati yang senang yaitu “paramak so balunon” yang berarti bahwa “amak” (tikar) yang berfungsi sebagai tempat duduk bagi tamu terhormat jarang digulung, karena baru saja tikar tersebut digunakan sudah datang tamu yang lain lagi.

Partataring so ra mintop” menandakan bahwa tungku tempat menanak nasi selalu mempunyai bara api tidak pernah padam. Menandakan bahwa yang empunya rumah selalu gesit dan siap sedia dalam menyuguhkan sajian yang perlu untuk tamu.

Parsangkalan so mahiang” menandakan bahwa orang Batak akan berupaya semaksimal mungkin untuk memikirkan dan memberikan hidangan yang bernilai dan cukup enak yang biasanya dari daging ternak.

Untuk itu semua maka orang Batak selalu menginginkan penghasilan mencukupi untuk dapat hidup sejahtera dan kiranya murah rejeki, mempunyai mata pencaharian yang memadai, sehingga disebut “Parrambuan so ra marsik”.

Tikar yang disebut “amak” adalah benda yang penting bagi orang Batak. Berfungsi untuk alas tidur dan sebagai penghangat badan yang dinamai bulusan. Oleh karena itu ada falsafah yang mengatakan “Amak do bulusan bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum martulang gabe uhum marbere”.

Jenis lain dari tikar adalah rere yang khusus untuk digunakan sebagai alas tempat duduk sehari-hari dan bila sudah usang maka digunakan menjadi “pangarerean” sebagai dasar dari membentuk “luhutan” yaitu kumpulan padi yang baru disabit dan dibentuk bundar. Tentang hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Sala mandasor sega luhutan” di mana pengertiannya adalah bahwa jika salah dalam perencanaan maka akibatnya tujuan dapat menjadi terbengkalai.

Penutup

Nilai budaya itu sangat perlu dilestarikan dan hendaknya dapat ditempatkan sebagai dasar filosofi sebagai pandangan hidup bagi generasi penerus kelak. Ada pendapat yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai budayanya, karena itu Bangso Batak perlu menjaga citra dan jati dirinya agar keberadaannya tetap mendapat tempat dalam pergaulan hubungan yang harmonis.

Penulis juga mengakui bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna maka segala bentuk saran dan masukan yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati, Kiranya Tuhan memberkati kita semua. HORAS

Dikutip Dari : Tano Batak

Urutan Acara Pernikahan Adat Batak Toba

Pada postingan kali ini, saya mencoba membagikan pengetahuan tentang urutan acara pernikahan pada suku Batak Toba. Adapun maksudnya supaya kita sama-sama mengetahui urutan dari acara pernikahan suku Batak Toba dari awal hingga akhir prosesi, terutama buat kaum muda suku Batak Toba.

Berikut urutan acara pernikahan adat Batak Toba dari awal hingga akhir acara : 

MARSIBUHA BUHAI

Pagi hari sebelum dimulai pemberkatan/ catatan sipil/ pesta adat, acara dimulai dengan penjemputan mempelai wanita di rumah disertai dengan makan pagi bersama dan berdoa untuk kelangsungan pesta pernikahan,
biasanya disini ada penyerahan bunga oleh mempelai pria dan pemasangan bunga oleh mempelai wanita dilanjutkan dengan penyerahan Tudu-tudu Ni Sipanganon dan Menyerahkan dengke lalu makan bersama, selanjutmya berangkat menuju gereja untuk pemberkatan.


Beberapa Istilah Dalam Pernikahan Adat Batak
  1. Suhut, kedua pihak yang punya hajatan
  2. Parboru, orang tua  pengenten perempuan=Bona ni haushuton
  3. Paranak, orang tua  pengenten Pria= Suhut Bolon.
  4. Suhut Bolahan amak: Suhut yang menjadi tuan rumah dimana acara adat di selenggrakan.
  5. Suhut naniambangan, suhut yang datang.
  6. Hula-hula, saudara laki-laki dari isteri masing-masing suhut.
  7. Dongan Tubu, semua saudara laki masing-masing suhut.
  8. Boru, semua yang isterinya semarga dengan marga kedua suhut.
  9. Dongan sahuta, arti harafiah “teman sekampung” semua yang tinggal dalam huta/ kampung komunitas (daerah tertentu)  yang sama paradaton/ solupnya.
  10. Ale-ale, sahabat yang diundang bukan berdasarkan garis persaudaraan (kekerabatan atau silsilah).
  11. Uduran, rombongan masing-masing suhut, maupun rombongan masing-masing hula-hulanya.
  12. Raja Parhata (RP), Protokol (PR) atau Juru Bicara (JB) masing-masing suhut, juru bicara yang ditetapkan masing-masng pihak.
  13. Namargoar, Tanda Makanan Adat , bagian-bagian tubuh hewan yang dipotong yang menandakan makanan adat itu adalah dari satu hewan (lembu/ kerbau) yang utuh, yang nantinya dibagikan.
  14. Jambar, namargoar yang  dibagikan kepada yang berhak, sebagai legitimasi dan fungsi keberadaannya dalan acara adat itu.
  15. Dalihan Na Tolu (DNT), terjemahan harafiah”Tungku Nan Tiga” satu sistim kekerabatan dan way of life masyarakat Adat Batak.
  16. Solup, takaran beras dari bambu yang dipakai sebagai analogi paradaton, yang bermakna dihuta imana acara adat batak diadakan solup/paradaton dari huta itulah yang dipakai sebagai rujukan, atau disebut dengan hukum tradisi “sidapot solup do na ro".

PROSESI MASUK TEMPAT  ACARA ADAT
(Contoh Acara di Tempat Perempuan)

Raja Parhata/ Protokol Pihak Perempuan= PRW
Raja Parhata/ Protokol Pihak Laki-laki    =  PRP
Suhut Pihak Wanita = SW
Suhut Pihak Pria       = SP


  1. PRW meminta semua dongan tubu/semaraganya bersiap untuk menyambut dan menerima kedatangan rombongan hula-hula dan tulang.
  2. PRW memberi tahu kepada Hula-hula, bahwa SP sudah siap menyambut dan menerima kedatangan Hula-hula.
  3. Setelah hula-hula mengatakan mereka sudah siap untuk masuk, PRW mempersilakan masuk dengan menyebut satu persatu, hula-hula dan tulangnya secara berurutan sesuai urutan rombongan masuk.Hula-hula, ……
1. Hula-hula, ……
2. Tulang, …….
3. Bona Tulang, …..
4. Tulang Rorobot, …..
5. Bonaniari, ……
6. Hula-hula namarhahamaranggi:
    - a …
    - b….  
    - c….
    - dst
7.Hula-hula anak manjae, … dengan permintaan agara mereka bersam-sama    masuk dan menyerahkan pengaturan selanjutnya kepada hula-hula    Simorangkir

PR Hulahula, menyampaikan kepada rombongan hula-hula dan tulang yang sudah disebutkan PRW pada III , bahwa SW sudah siap menerima kedatangan rombongan hula-hula dan tulang dengan permintaan agar uduran Hula-hula dan Tulang memasuki tempat acara , secara  bersama-sama.
Untuk itu diatur urut-urutan uduran (rombongan) hula-hula dan tulang yang akan memasuki ruangan. Uduran yang pertama adalah Hula-hula……, diikuti TULANG …….sesuai urut-urutan yang disebut kan PRW pada (3).

MENERIMA KEDATANGAN SUHUT PARANAK (SP) 
Setelah seluruh rombongan hula-hula dan tulang dari SW duduk, rombongan Paranak/SP dipersilakan memasuki ruangan. 
PRW, memberitahu bahwa tempat untuk SP dan uduran/rombongannya sudah disediakan dan SW sudah siap menerima kedatangan mereka beserta Hula-hula , Tulang SP dan uduran/rombongannya 


PRP menyampaikan kepada dongan tubu, bahwa sudah ada permintaan dari Parboru agar mereka memasuki ruangan.
Kepada hula-hula dan tulang (disebutkan satu perasatu) yaitu:
1.   Hula-hula, ….
2.   Tulang, …..
3.   Bona Tulang, ….
4.   Tulang Rorobot, …..
5.   Bonaniari , …..
6.   Hula-hula namarhaha-marnggi:
           -  a…….
           -  b …….
           -  c…….
           -  dst
7.   Hula-hula anak manjae…..
                  
PRP memohon, sesuai permintaan hula-hula SW agar mereka masuk bersama-sama dengan SP. Untuk itu tatacara dan urutan memasuki ruangan diatur, pertama adalah Uduran/rombongan SP& Borunya, disusul Hula-hula….., Tulang…..dan seterusnya sesuai urut-urutan yang telah dibacakan PR (Dibacakan sekali lagi kalau sudah mulai masuk).

MENYERAHKAN TANDA MAKANAN ADAT
(Tudu-tudu Ni Sipanganon)


Tanda makanan adat yang pokok adalah: kepala utuh, leher (tanggalan), rusuk melingkar (somba-somba), pangkal paha (soit), punggung dengan ekor (upasira), hati dan jantung ditempatkan dalam baskom/ ember besar.

Tanda makanan adat diserahkan SP beserta Isteri didampingi saudara yang lain dipandu PRP, diserahkan kepada SW dengan bahasa adat, yang intinya menunjukkan kerendahan hati dengan mengatakan walaupun makanan yang dibawa itu sedikit/ala kadarnya  semoga ia tetap membawa manfaat dan berkat jasmani dan rohani hula-hula SW dan semua yang menyantap nya, sambil menyebut bahasa adat/ umpasa :

Sitiktikma si gompa
Golang golang pangarahutna
Tung so sadia (otik) pe naung pinatupa
Sai godangma pinasuna.

MENYERAHKAN DENGKE/ IKAN OLEH SW


Aslinya ikan yang diberikan adalah jenis “ihan” atau ikan Batak, sejenis ikan yang hanya hidup di Danau Toba dan sungai Asahan bagian hulu dan rasanya memang manis dan khas. Ikan ini mempunyai sifat hidup di air yang jernih (tio) dan kalau berenang/ berjalan selalu beriringan (mudur-udur) , karena itu disebut ; dengke sitio-tio, dengke si mudur-udur (ikan yang hidup jernih dan selalu beriringan/ berjalan beriringan bersama)
Simbol inilah yang menjadi harapan kepada pengantin dan keluarganya yaitu seia sekata beriringan dan murah rejeki (tio pancarian dohot pangomoan).

Tetapi sekarang ihan sudah sangat sulit didapat, dan jenis ikan mas sudah biasa digunakan. Ikan Masa ini  dimasak khasa Batak yang disebut “naniarsik” ikan yang dimasak (direbus) dengan bumbu tertentu sampai airnya berkurang pada kadar tertentu dan bumbunya sudah meresap kedalam daging ikan itu.

MAKAN BERSAMA

Sebelum bersantap makan, terlebih dahulu berdoa dari suhut Pria (SP), karena pada dasarnya SP yang membawa makanan itu walaupun acara adatnya di tempat SW.
Untuk kata pengantar makan, PRP menyampaikan satu uppasa (ungkapan adat) dalam bahasa Batak seperti waktu menyerahakan tanda makanan adat:
Sitiktikma si gompa, golang golang pangarahutna
Tung, sosadiape napinatupa on, sai godangma pinasuna.
     
Ungkapan ini menggambarkan kerendahan hati yang memebawa makanan dengan  mengatakan walaupun makanan yang dihidangkan tidak seberapa (pada hal hewan yang diptong yang menjadi santapan adalah hewan lembu atau kerbau yang utuh), tetapi mengharapkan agar semua dapat menikmatinya serta membawa berkat.

Kemudian PRP mempersilakan bersantap

MEMBAGI JAMBAR/TANDA MAKANAN ADAT

Biasanya sebelum jambar dibagi, terlebih dahulu dirundingkan bagian-bagian mana yang diberikan SW kepada SP. Tetapi, yang dianut dalam acara adat yaitu Solup Batam, yang disebut dengan “JAMBAR MANGIHUT”dimana jambar sudah dibicarakan sebelumnya dan dalam acara adatnya (unjuk) SW tinggal memberikan bagian jambar untuk SP sebagai ulu ni dengke mulak. Selanjutnya masing masing suhut membagikannya kepada masing-masing  fungsi dari pihaknya masing-masing saat makan sampai selesai dibagikan

MANAJALO TUMPAK (SUMBANGAN TANDA KASIH)

Arti harafiah tumpak adalah sumbangan bentuk uang, tetapi  melihat keberadaan masing-masing dalam acara adat mungkin istilah yang lebih tepat adalah tanda kasih. Yang memberikan tumpak adalah undangan SUHUT PRIA, yang diantarkan ketempat SUHUT duduk dengan memasukkannya dalam baskom yang disediakan/ ditempatkan dihadapan SUHUT, sambil menyalami pengenten dan SUHUT.

Setelah selesai santap makan, PRP meminta ijin kepada PRW agar mereke diberi waktu untuk menerima para undangan mereka untuk mengantarkan tumpak (tanda kasih)

Setelah PRW mempersilakan, PRP menyampai kan kepada dongan tubu, boru/bere dan undangannya bahwa  SP sudah siap menerima kedatangan mereka untuk mengantar tumpak.

Setelah selesai PRP mengucapkan terima kasih atas pemberian tanda kasih dari para undangannya

ACARA PERCAKAPAN ADAT

Mempersiapkan Percakapan
RPW menanyakan apakah sudah siap memulai percakapan, yang dijawab oleh SP, mereka sudah siap
Masing-masing PRW dan PRP menyampaikan kepada pihaknya dan hula-hula serta tulangnya bahwa percakapan adat akan dimulai, dan memohon kepada hula-hulanya agar berkenan memberi nasehat kepada mereka dalam percakapan adat nanti

Memulai Percakapan (Pinggan Panungkunan)



Pinggan Panungkunan, adalah piring yang didalamnya ada beras, sirih, sepotong daging (tanggo-tanggo) dan uang 4 lembar. Piring dengan isinya ini adalah sarana dan simbol untuk memulai percakapan adat.
PRP meminta seorang borunya mengantar Pinggan Panungkunan itu kepada PRW
PRW,  menyampaikan telah menerima Pinggan Panungkunan dengan menjelaskan apa arti semua isi yang ada dalam beras itu. Kemudian PRW mengambil 3 lembar uang itu, dan kemudian meminta salah seorang borunya untuk mengantar piring itu kembali kepada PRP
PRW membuka percakapan dengan memulainya dengan penjelasan makna dari tiap isi  pinggan panungkunan (beras, sirih, daging dan uang), kemudian menanyakan makna tanda dan makanan adat yang sudah dibawa dan dihidangkan oleh pihak Paranak.
Akhir dari pembukaan percakapan ini, keluarga Paranak mengatakan bahwa makanan dan minuman pertanda pengucapan syukur karena berada dalam keadaan sehat, dan tujuan Paranak  adalah menyerahkan kekurangan sinamot , dilanjutkan adat yang terkait dengan pernikahan anak mereka

PENYERAHAN PANGGOHI/ KEKURANGAN SINAMOT


Dalam percakapan selanjutnya, setelah PRW meminta PRP menguraikan apa/berapa yang mau mereka serahkan , PRP  memberi tahukan kekurangan sinamot yang akan mereka serahkan adalah sebsar Rp…Juta, menggenapi seluruh sinamot Rp….Juta. (Pada waktu acara Pudun Saut, Paranak sudah menyerahkan Rp 15 juta sebagai bohi sinamot (mendahulukan sebagian penyerahan sinamot di acara adat na gok).
Sebelum PR mengiakan lebih dulu RP meminta nasehat dari Hula-hula dan pendapat dari boru
Sesudah diiakan oleh PR, selanjutnya penyerahan kekurangan sinamot kepada suhut.

PENYERAHAN PANANDAION

Tujuan acara ini memperkenalkan keluarga pihak perempuan agar keluarga pihak pria mengenal siapa saja kerabat pihak perempuan sambil memberikan uang kepada yang bersangkutan


Secara simbolis, yang diberikan langsung hanya kepada 4 orang saja, yang disebut dengan patodoan atau “suhi ampang na opat”  ( 4 kaki dudukan/pemikul  bakul)  yang merupakan symbol pilar jadinya acara adat itu. Dengan demikian biarpun hanya yang empat itu yang dikenal/menerima langsung, sudah mewakili menerima semuanya. (Mungkin dapat dianalogikan dengan pemberian tanda penghargaan massal kepada pegawai PNS yang diwakili 4 orang, masing-masing 1 orang dari tiap golngan I sampai golongan IV)

Kepada yang lain diberikan dalam satu envelope saja yang nanti akan dibagikan kepada yang bersangkutan.

PENYERAHAN TINTIN MARANGKUP



Diberikan kepada tulang /paman pengantin pria (saudara laki ibu pengantin pria). Yang menyerahkan adalah orang tua pengantin perempuan berupa uang dari bagian sinamot itu

Secara tradisi pengantin pria mengambil boru tulangnya untuk isterinya, sehingga yang menerima sinamot seharusnya tulangnya                     

Dengan diterimanya sebagian sinamot itu oleh Tulang Pengenten Pria yang disebut titin marangkup, maka Tulang Pria mengaku pengantin wanita, isteri ponakannya ini, sudah dianggapnya sebagai boru/putrinya sendiri walaupun itu boru dari marga lain.

PEMBERIAN ULOS OLEH PIHAK PEREMPUAN

Dalam Adat Batak tradisi lama atau religi lama, ulos merupakan sarana penting bagi hula-hula, untuk menyatakan atau menyalurkan sahala atau berkatnya kepada borunya, disamping ikan, beras dan kata-kata berkat. Pada waktu pembuatannya ulos dianggap sudah mempunyai “kuasa”. Karena itu,   pemberian ulos, baik yang memberi maupun yang menerimanya  tidak sembarang orang , harus mempunyai alur tertentu, antara lain adalah dari Hula-hula kepada borunya, orang tua kepada anank-anaknya. Dengan pemahaman iman yang dianut sekarang, ulos tidak mempunyai nilai magis lagi sehingga ia sebagai simbol dalam pelaksaan acara adat.

Ujung dari ulos selalu banyak rambunya sehingga disebut “ulos siganjang/sigodang rambu”(Rambu, benang di ujung ulos yang dibiarkan terurai)

Pemberian Ulos sesuai maknanya adalah sebagai  berikut:

Ulos Namarhadohoan 

No     Uraian Yang Menerima           Keterangan     
A       Kepada Paranak    
         1.     Pasamot/Pansamot          Orang tua pengenten pria       
         2.     Hela                                Pengenten


B       Partodoan/Suhi Ampang Naopat           
         1.     Pamarai                             Kakak/ Adik dari ayah pengenten pria    
         2.     Simanggokkon                   Kakak/ Adik dari pengenten pria 
         3.     Namborunya                      Saudra perempuan  dari ayah pengenten pria     
         4.     Sihunti Ampang                  Kakak/ Adik perempuan dari  pengenten pria     

Ulos Kepada Pengantin

No      Uraian Yang Mangulosi     
A       Dari Parboru/Partodoan         
         1.     Pamarai 1 lembar, wajib Kakak/ Adik dari ayah pengenten wanita  
         2.     Simandokkon  Kakak/ Adik laki-laki dari pengenten wanita     
         3.     Namborunya (Parorot)  Iboto dari  ayah pengantin wanita      
         4.     Pariban   Kakak/ Adik dari  pengantin wanita      
B       Hula-hula dan Tulang Parboru           
         1.     Hula-hula       1 lembar, wajib
         2.     Tulang  1 lembar, wajib
         3.     Bona Tulang     1 lembar, wajib
         4.     Tulang Rorobot  1 lembar, tidak wajib  
C       Hula-hula dan Tulang Paranak           
         1.     Hula-hula       1 lembar, wajib
         2.     Tulang  1 lembar, wajib
         3.     Bona Tulang     1 lembar, wajib
         4.     Tulang Rorobot  1 lembar, tidak wajib 

MANGUNJUNGI ULAON (Menyimpulkan Acara Adat)

Manggabei (kata-kata doa dan restu) dari pihak SW Berupa kata-kata pengucapan syukur kepada Tuhan bahwa acara adat sudah terselenggara dengan baik:
  a.    Ucapan terima kasih kepada dongan tubu dan hula-hulanya
  b.    Permintaan kepada Tuhan agar rumah tangga yang baru diberkati demikian juga orang tua pengenten dan saudara yang lainnya
Mangampu (ucapan terima kasih) dari pihak SP
Ucapan terima kasih kepada semua pihak baik kepada hula-hula SW maupun kepada SP atas terselenggaranya acara adat nagok ini. 

Mangolopkon (Mengamenkan) oleh Tua-tua/yang dituakan di Kampung itu

Kedua suhut menyediakan piring yang diisi beras dan uang  (biasanya ratusan lembar pecahan Rp1.000 yang baru) kemudian diserahkan kepada Raja Huta yang mau mangolopkon Raja Huta berdiri sambil mengangkat piring yang berisi beras dan uang olop-olop itu. Dengan  terlebih dahulu menyampaikan kata-kata ucapan Puji Syukur kepada Tuhan Karen kasih-Nya cara adat rampung dalam suasan damai (sonang so haribo-riboan) serta restu dan harapan kemudian  diakhiri , dengan mengucapkan : olop olop, olop olop, olop olop sambil menabur kan beras keatas dan kemudian membagikan uang olop-olop itu. 

Ditutup dengan doa/ ucapan syukur
Akhirnya acara adat ditutup dengan doa oleh Hamba Tuhan.Sesudah amin, sama-sama mengucapkan: horas..! horas..! horas..!

Bersalaman untuk pulang,, suhut na niambangan  Paranak menyalami Suhut Parboru

Catatan:
Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga langsung setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka namakan “Ulaon Sadari”

Referensi : http://berlipro.com/index6.html
Sumber: http://www.ladangtuhan.com

Urutan Pra Hingga Pasca Nikah Adat Batak Toba



Untuk membantu mengerti sedikit mengenai tata cata pernikahan adat, dan atas ide dari salah satu clent kami, maka dalam dokumentasi video, kami memberikan subtitle dalam setiap event adat pesta batak yang kami liput.

Tujuannya untuk membantu para client kami sedikit lebih mengerti mengenai pernikahan adat batak yang mereka jalani, bukan cuma untuk membantu mengerti adat batak saja, kami juga memberikan video yang artistik, touching, modern. ringkas, padat dan menarik.

Berikut sedikit ulasan mengenai urut-urutan pra sampai pasca pernikahan adat Na Gok :

1. Mangarisika..
Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.

2. Marhori-hori Dinding/marhusip..
Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.

3. Marhata Sinamot..
Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang oada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).

4. Pudun Sauta..
Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari :
Kerabat marga ibu (hula-hula)
Kerabat marga ayah (dongan tubu)
Anggota marga menantu (boru)
Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.

5. Martumpol (baca : martuppol)
Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).

6. Martonggo Raja atau Maria Raja.
Adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk :
Mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknis
Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan.
Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.

7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)
Pengesahan pernikahan kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen)

8. Pesta Unjuk (lihat detail) 
Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar :
Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.
Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.

9. Mangihut di ampang (dialap jual)
Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.

10. Ditaruhon Jual.
Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.

11. Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria  (Daulat ni si Panganon)
Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria.
Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru

12. Paulak Unea..
Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).
Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru.

13. Manjahea.
Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian.

14. Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga)
Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur)

Dikutip dari http://rapolo.wordpress.com/2007/12/19/tata-cara-dan-urutan-pernikahan-adat-na-gok/

Taringot Tu Raja Biakbiak

Ia Raja Biakbiak, margoar huhut Raja Gumelenggeleng na songon gumul do ibana ndang martangan, ndang marpat jala so boi hundul. Ibana do na lumea di bagasan rohana, ala so martihas angka anggina.

Mangihuthon baritana ro do sahali Mulajadi Nabolon. Tuat tu Sianjurmulamula sorang tu Guru Tateabulan mangunjuni rohana, ai dipangido ma anakna Sariburaja seatonna.

“Ba saguru di Ho do Ompung!” ninna Guru Tateabulan mangalusi. Umbege i, didok Raja Biakbiak ma tu inana: “O inang! Hubege dioloi amanta nangkining seaton ni Ompunta Mulajadi Nabolon si Sariburaja, ianggo di rohangku, ahu do na naeng seatonna; ai aha ma ahu martimbangkon Sariburaja na so martihas i? Asa ianggo siat pangidoanku suru ma damang manabunihon ahu; ai atik pe songon on partubungku ahu do sipultak bajubajum!”

Umbege hata ni Raja Biakbiak inana  i, disuru ma guru Tateabulan manabunihon Raja Biakbiak tu dolok Pusukbuhit.



Dung nangkok Mulajadi Nabolon tu bagas, dipangido ma Sariburaja seatonna, jadi dilehon inana i ma. Didok Mulajadi Nabolon ma : “Tiop ma patna i!” Jadi ditiop ma tutu. Dung i diseat ma jala ditanggoi.

Nunga dihodohon hian pangalompaanna i. Ia dung sidung ditanggoi dipambahenma tu pangalompaanna i asa pamasahonna.

Dung ro di pangalompaanna i, manggora ma Mulajadi Nabolon didok ma: “Na olo gabe Sariburaja, ruar ma ho sian i!” Jadi mangangkat ma tutu Sariburaja sian i, laos hundul ma ibana tu halangulu. Nunga songon garage ibana, songon garugu; na sada songon na pitupulu.

Mangihuthon pandok ni na deba, sian angka na tinggal i laos manjadi ma ragam ni pahanpahanan.
Ia di tingki na laho mulak Mulajadi Nabolon tu banua ginjang, sian dolok Pusukbuhit do ibana manaek. Jadi jumpangsa ma disi Raja Biakbiak: “Ise na mamboan ho tuson?” ninna Mulajadi Nabolon manungkun ibana.

“Ianggo i da ompung, na mabiar do ahu di biarhu, matahut di tahuthu! Hubege nangkining diondam Ho da Ompung seatonmu Sariburaja, anggo di rohangku ahu do na naeng seatonmu; ala na martihas i ahu. Gabe hupangido tu dainang asa disuru damang manaruhon ahu tuson. Ai ahu do sipultak bajubaju ni dainang.”

"Ba naeng marsomba tu ho di roham angka pinompar ni anggim dohot ibotom?” ninna Mulajadi Nabolon.

“Naeng ma tutu, ai ahu do sihahaan, ahu do na patut rajanasida!” ninna Raja Biakbiak.

“Antong molo songon i, beha, olo do ho tumpaonku?”

“Ba olo do ahu, asalma marsomba tu ahu angka pinomparni anggingku dohot ibotongku!” ninna Raja Biakbiak.

Jadi ditumpa Mulajadi Nabolon ma Raja Biakbiak di dolok Pusukbuhit i, Gabe, marpat, martangan, alai songon munsung babi (Santabi) do munsunga.

Mangihuthon pandok ni na deba marhabong do ibana. Dibahen ma goarna Tuan Rajauti; raja na so ra mate, raja na so ra matua. Sian punsu ni dolok Pusukbuhit i, dipahabang Mulajadi Nabolon ma Ibana tu ujung Aceh.  

Sumber: Dikutip Dari Buku Pustaha Batak Tahun 1991

Si Raja Batak

Ianggo anak ni ompunta Raja Batak dua do, I ma: Guru Tateabulan na margoar huhut si Mangarata dohot Raja Isumbaon.

Ia dung Mangoli be nasida, didok nasida ma tu amana: “Ale amang, aha do bagian silehononmu di hami be paboa anakmu hami amanami ho?”

Dung i dialusi Raja Batak ma hata ni anakna i, didok ma: “Ba ia i na adong di ahu da amang, i ma sibagionmuna! I ma adat, sibagion ni anakna do pinungka ni amana”.

Dung i didok anakna dua i ma muse: “Olo denggan ma i, tutu amang na nidokmi, alai ndada holan i na hupangido hami. Lehon ma di hami, na so dung huida jala na so dung huboto hami.

“Ia na pinangidomuna i, ndang tarpatupa ahu i; alai rap ma hita mangido i tu Ompunta Mulajadi Nabolon”.
Dung songon i, dibuat nasida ma manuk lahibini mamele Debata Mulajadi Nabolon dohot Debata Natolu. Jadi martonggo ma Raja Batak, didok ma: “Hujou hutonggo ma badia ni gurungku Debata Natolu, na tolu gugun, na tolu harajon, sian huta ni da ompung Ompu Raja Mulamula, Ompu Raja Mulajadi. Mula ni dungdang, mula ni sahala. Siuntunguntung na bolon, sileangleangmandi, si Raja Indainda, si Raja Indapati: na pajujungjujung pinggan di hos ni mata ini ari. Na hinsa suruon, na girgir mangalapi; na sintak sumunde, na uja mamintari. Siboto unungunung na uja mananginangi, na pabuhabuha pintu, na padungdangdungdang langit, na pasoropsorop ombun di  gorjokgorjok ni ari. Ambeambe na somurung, sitapi manjalahi; na patorustorus somba tu Ompunta Mulajadi, Ompu ni Balemantabun di horbo inaina. Tuat ma hamu da Ompung sian banua ginjang, sian ginjang gininjangan, sian langit ni langitan, sian ombun na pitu lampis, sian langit na tolu tingko. Tuat ma hamu da Ompung, ambit mula tuan, modom mula monang, sangkap mula ingot, dungdang mula dudu, tortor mula gondang. Tangkas huboto do hamu ro sian banua ginjang parlintong gumajogajo, paraek gumojokgojok. Parbatu galanggalangan, parjorojoro sipitu sundut, partungkup bale pasogit, parmanukmanuk patia raja. Parhoda sibaganding, pargiringgiring siantar sabungan, parpinggan pasu na uli. Na rumajahon mombang boru, pangeateatan ni Ompunta Mulajadi Nabolon. Asa tongos ma da Ompung, sahala tua, sahala harajaon, bagian ni anakku da dua on!

Asa parsige bulu sitiga goligoli
Diparintar ma jambulan, dipaneang holiholi.

Dung i laos ditonggo muse ma Debata Natolu.
Ia dung songon i, ditongos Mulajadi Nabolon ma dua balunbalunan surat Batak. Dibalunan parjolo, surat agong; I ma bagian ni Guru Tateabulan, jala tarsurat disi: hadatuon, habeguon, parmonsahon dohot pangliluon.

Di balunan paduahon, surat tombaga holing i ma bagian ni Raja Isumbaon tarsurat do disi; harajaon, paruhumon, parumaon, partigatigaon dohot paningaon.

Ndang tangkas binoto manang ise do niolini Guru Tateabulan dohot Raja Isumbaon, alai adong do ianakkonnasida be. Sian i ma dapot botoon, adong do niolininasida be.

Ia tubu ni Guru Tateabulan,  sia halak do; lima do i anakna jala opat boruna.

Goar ni angka anakna i, i ma:
  1. Raja Biakbiak
  2. Tuan Sariburaja margoar huhut Ompu Tuan Rajadoli
  3. Limbongmulana
  4. Sagalaraja
  5. Silauraja (Malauraja)

Ianggo goar ni boruna:
  1. Si Boruparomas (Si Boruanting-antingsabungan)
  2. Si Borupareme
  3. Si Borubidinglaut
  4. Nan Tinjo

Ia anank ni Raja Isumbaon, i ma:
  1. Sorimangaraja
  2. Raja Asiasi margoar huhut Tunggulnijudi
  3. Sangkar Somalindang (Langkasomalindang)

Songon on ma partording ni partubunasida.

Jumolo do sinurathon barita ni pinompar ni Guru Tateabulan mangihuthon partording ni baritana, i pe asa pinompar ni Raja Isumbaon.

Sumber: Dikutip Dari Buku Pustaha Batak Tahun 1991