Translate

BBM

BBM
Tampilkan postingan dengan label Adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adat. Tampilkan semua postingan

Aturan Adat Istiadat Batak

Patokan dan aturan adat adalah acuan atau cerminan untuk melaksanakan adat didalam sukacita maupun dukacita yang pelaksanaannya harus didasarkan pada falsafah “ DALIHAN NATOLU “ serta memperhatikan nasihat nenek moyang ( Poda Ni Ompunta)

* Jolo diseat hata asa diseat raut ( di bicarakan sebelum dilaksanakan)
* Sidapot solup do na ro (mengikuti adat suhut setempat)
* Aek Godang tu aek laut, dos ni roha nasaut (Musyawarah mufakat ).

Pasal 1
1. Pada acara pesta perkawinan yang mutlak (mortohonan) suhi ni ampang ñaopat :

a. Pihak paranak (pengantin lelaki) yang terima ulos :
1. Ulos Pansamot : Orang tua pengantin
2. Ulos Paramaan : Abang / adik Orangtua Pengantin
3. Ulos Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin
4. Ulos Sihunti Ampang : Saudara (Ito) atau Namboru Pengantin

b. Pihak Parboru (pengantin perempuan) yang terima sinamot :
1. Sijalo Bara / Paramai : Abang / adik pengantin
2. Sijalo Upa Tulang : Tulang pengantin
3. Sijalo Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin atau
Simandokhon Ito pengantin *(sesuai Hasuhuton&Tonggo Raja).
4. Sijalo Upa Pariban : Kakak atau Namboru Pengantin

c. Urutan Pelaksanaan:
1. Ulos Hela diberikan setelah Ulos Pansamot.
2. Sijalo Paramai diberikan setelah sinamot nagok diterima Suhut Parboru.
2. Pada acara Adat Perkawinan yang harus diperhatikan :

a. Tintin marangkup diberikan kepada Tulang Pengantin pria, bila perkawinan dengan
Pariban Kandung (Boru Tulang), tidak ada Tintin Marangkup.
b. Jumlah Tintin Marangkup, sesuai kesepakatan demikian Panandaion bila ada.
c. Ulos yang diturunkan (tambahan) tidak boleh melebihi tanggungan Parboro.
d. Uang Pinggan Panungpunan, disesuaikan dengan besarnya Sinamot.
e. Undangan pada acara adat Boru Sihombing atau Bere Sihombing, suhu – suhu Ompu yang menerima Sinamot / Tintin Marangkup / Upa Tulang , wajib memberikan ulos Herbang, selain yang memberi ulos Herbang, boleh memberi uang (pembeli ulos).

Pasal 2
Pada Acara Adat Kematian (meniggal dunia), ulos yang berjalan dan acara sesuai tingkat kematian :

1. Meninggalnya dari usia anak-anak sampai usia berkeluarga :
a. Anak-anak dan Boru Sihombing remaja : Lampin atau Saput dari orangtua.
b. Remaja / Pemuda Sihombing : Saput dari Tulang-nya.
c. Kembali dari makan tidak ada acara adat lagi.

2. Meninggal Suami / Isteri :
a. Tingkat kematian ditetapkan dalam Parrapoton / Tonggo Raja.
b. Ulos Saput / Tutup Batang Suami dari Tulang-nya, Ulos Tujung/ Sampetua Istri dari Hula – hula.
c. Ulos Saput / Tutup Batang Istri dari Hula – hula, Ulos Tujung/ Sampetua Suami dari Tulangnya.
d. Urutan pelaksanaan : Saput lebih dulu baruTujung (berubah sesuai kondisi).
e. Tingkat kematian Sarimatua, kembali dari makam ada Acara Buka Tujung, bagi yang masih menerima Tujung.
f. Tingkat kematian Saurmatua, kembali dari makam ada Acara Buka Hombung.
g. Suami meninggal, Tulang-nya Siungkap Hombung; Istri meninggal, Hula-hulanya.

Pasal 3
Parjambaran
Pada setiap Acara Adat Pesta Perkawinan dan kematian berjalan Parjambaran, pada
dasarnya sebelum pelaksanaan harus dibicarakan lebih dahulu :

1. Parjambaran di acara adat pesta perkawinan, panjuhuti-nya pinahan / sigagat duhut.
a. Mengkawinkan anak laki – laki :
- Bila adatnya alap jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro
- Bila adatnya Taruhon Jual :
Osang utuh diparanak, untuk diberikan kepada hula-hula (Sijalo Tintin Marangkup), ihur-ihur (Upa Suhut) diparanak dan diberikan Ulak Tando Parboru,
Somba – somba dan soit dibagi dua dan parngingian (kiri) di Paranak :
(1). Somba – somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot.
(2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale-ale, Dongan Sahuta, dll.
(3). Parngingian / Parsanggulan untuk Boru / Bere.
(4). Ikan (dengke) dari Parboru untuk Hasuhuton.

b. Mengawinkan anak Perempuan :
- Bila adatnya Taruhon Jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro.
- Bila adatnya Taruhon Jual :
Osang Utuh di Parboru untuk diberikan ke Hula-hula dan Tulang Rorobot.
Ihur – ihur (Upa Suhut) di Parboru untuk Hasuhuton
Somba – somba dan Soit dibagi dua dan parngingian(kanan) di Parboru :
(1). Somba –somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot.
(2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale – ale, Dongan Sahuta, dll.
(3). Parsanggulan / Parngingian untuk Boru / Bere.

2. Parjambaran di acara kematian sari / saurmatua, boan sigagat duhut
(Contoh) :
Ulaon : Borsak Simonggur.
Hasuhuton : Hutagurgur.
Bona ni Hasuhutin : Tuan Hinalang.
Suhut Bolon : Datu Parulas.

A. DONGASABUTUHA
1. Panambuli : Anggi Doli Hariara.
2. Pangalapa / Pamultak : Raung Nabolon.
3. Panambak / Sasap : Dongan Tobu.
4. Ihur – ihur / Upa Suhut : Datu Parulas.
5. Uluna / Sipitudai : Jambar Raja (Parsadaan dan Punguan)
Orang biasanya diberikan ke Protokol dan Sitoho-toho.
6. Ungkapan : Haha Doli Suhut Bolon.
7. Gonting : Anggi Doli Suhut Bolon.

B. BORU / BERE / IBEBERE
1 . Tanggalan Rungkung Partogi : Boru ni Prsadaan.
2. Tanggalan Rungkung Mangihut : Boru ni Punguan.
3. Tanggalan Rungkung Bona – bona : Boru Diampuan/Bere – Ibebere.

C. HULA – HULA
1. Tulan Bona : Pangalapan Boru/Hula-hula Tangkas.
2. Tulan Tombuk : Namamupus/Tulang.
3. Somba – somba Siranga : Tulang Rorobot, Bona Tulang, Bona Hula.
Somba – somba Nagok :Bona na ari.
4. Tulan  arsiat (Hula-hula, Haha Anggi, & Anak Manjae)

D. DONGAN SAHUTA / RAJA NARO.
1. Botohon : Sipukkha Huta/Dongan Sahuta.
2. Ronsangan : Pemerintah setempat.
3. Soit Nagodang : Paariban, Ale-ale, Pangula ni Huria, Partungkoan.
4. Bonian Tondi : Pangalualuan ni Nipi (teman curhat).
5. Sitoho-toho : Surung-surung ni namanggohi adat (orang yang sering
datang).
6. Pohu : Penggenapi isi tandok Hula-hula
7. Sohe/Tanggo : Penggenapi jambar yang belum dapat, dan lain-lain.

3. Penjelasan bentuk dan letak parjambaran

A. NAMARMIAK-MIAK (PINAHAN LOBU)
1. Osang-osang : rahang bawah
2. Parngingian : kepala bagian atas
3. Haliang : leher
4. Somba-somba : rusuk
5. Soit : persendian
6. Ihur-ihur/Upa Suhut : bagian belakang sampai ekor
Parjambaran Namarmiak – miak di Humbang
(Oleh : Ompu Natasya L. Toruan )



B. SIGAGAT DUHUT
1. Uluna/Sipitu dai : kepala atas dan bawah (tanduk
namarngingi dan osang)
2. Panamboli : potongan leher (sambolan)
3. Pangalapa/Pultahan : perut bagian bawah (tempat belah)
4. Panambak/Sasap : pangkal paha depan
5. Ungkapan : pangkal rusuk depan
6. Gonting : pinggul/punggul
7. Upa Suhut / Ihur-ihur : bagian belakang sampai ekor
8. Tanggalan Rungkung : leher (depan sampai dengan badan)
9. Tulan Bona : paha belakang
10. Tulan Tombuk : pangkal paha belakang
11. Somaba-somba Siranga : rusuk-rusuk besar
12. Somaba-somba Nagok : rusuk paling depan (gelapang)
13. Tulan : kaki di bawah dengkul
14. Botohon : paha depan
15. Ronsangan : tulang dada ( pertemuan rusuk)
16. Soit Nagodang : persendian
17. Bonian Tondi : pangkal rusuk iga
18. Sitoho-toho : sebagian dari osang bawah
19. Pohu : bagian-bagian kecil
20. Sohe/Tanggo-tanggo : cincangan
Parjambaran Sigagat Duhut di Humbang
( Oleh Drs. Togap L. Toruan)



Pasal 4

MANGADATI
Mangadati adalah pelaksanaan ”menerima.membayar” adat perkawinan (marunjuk) yang telah menerima pemberkatan nikah sebelumnya, dimana kedua belah pihak orangtua sepakat, adatnya dilaksanakan kemudian dan atau kawin lari (mangalua) dimana acara ini dilaksanakan pihak pengantin laki-laki ( Paranak). Karena itu ”mangadati” tidak sama dan bukanlah manjalo sulang-sulang ni pohompu.

A. Tahapan yang harus dipenuhi sebelum Mangadati :
1. Pada acara partangiangan (pengucapan syukur) pemberkatan nikah, Paranak wajib mengantar ”Ihur-ihur” kepada pihak pengantin perempuan (Parboru) sebagai bukti bahwa putrinya telah di-paraja (dijadikan istri).
2. Pihak paranak melakukan acara manuruk-nuruk (suruk-suruk) meminta maaf dengan membawa makanan adat kepada pihak Parboru(hula-hula).
3. Pihak Paranak melakukan pemberitahuan rencana ”mangadati” kepada pihak Parboru, dengan membawa makan adat. Acara ini merancang (mangarangrangi) ”Somba ni uhum: (sinamot), ulos herbang, dan yang berkaitan dengan mangadati.
B. Acara ”mangadati” dilaksanakan di tempat pihak Paranak, sehinga pelaksanaan sama dengan pesta adat ”taruhon jual”, yakni pihak Parboru datang dalam rombongan membawa beras, ikan, dan ulos.
C. Parjambaran: ”Sidapotsolup do naro”

Pasal 5

MENDAMPINGI, MANGAMAI, MANGAIN
Pengertian umum adalah suatu proses untuk perkawinan campuran antara anaka / boru dengan anak/boru suku/bangsa lain (Marga Sileban), dimana pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan adat Batak. Penerapannya dilakukan sesuai tahapan dan aturan masing-masing sebagai berikut :
MENDAMPINGI. Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak, Marga Sileban cukup meminta kepada satu keluarga Sihombing yang mau mendampingi dengan fungsi sebagai wakil/juru bicara/Raja parhata, dengan demikian :

1. Mendampingi Parboru, Sijalo Sinabot harus Marga Sileban, yang mendampingi hanya menerima uang kehormatan saja.
2. Mendampingi Paranak, Sijalo Ulos Suhi ni Ampang Naopat harus keluarga suku lain (Marga Sileban), yang mendampingi hanya menerima Ulos Pargomgom.
3. Yang mendampingi tidak boleh melakukan Tonggo / Ria Raja dan Papungu Tumpak.
MANGAMAI . Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak. Marga Sileban harus datang secara adat, membawa makanan na marmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau Mangamai dihadapan Dongan Tubu, Boru/Bere, Dongan Sahuta.
Dengan restu hadirin, yang Mangamai mangupa dengan menyatakan kesediaan untuk melaksanakan tahapan adat perkawinan yang dimaksud pihak Marga Sileban, kemudian Marga Sileban memberikan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua hadirin. Sehingga yang diamai dengan yang Mengamai sudah menjadi Dongan Sahundulan yang sifatnya permanen.
Dalam hal Mangamai Paranak, yang menerima ulos diatur sebagai berikut :
Ulos Pansamot : Orangtua kandung Marga Sileban.
Ulos Paramaan : Yang Mangamai.
Ulos Todoan : Marga Sileban atau keluaga yang Mengamai.
Ulos Sihunti Ampang : Boru yang Mengamau atau Marga Sileban.
Ulos seterusnya diatur pembagiannya sesuai dengan kesepakatan.
Tintin Marangkup tetap harus diberikan ke Tulang pengantin pria Marga Sileban.
Dalam hal Mangamai Parboru, yang menerima Sinamot/tuhor diatur sebagai berikut :
Sinamot nagok : Orangtua kandung Marga Sileban.
Paramai : yang Mengamai.
Todoan : Marga Sileban atau yang Mengamai.
Pariban : Boru yang Mengamai atau Boru Marga Sileban.
Upa Tulang harus diberikan kepada Tulang pengantin wanita Marga Sileban.
Panandaion/Sipalas roha diatur pembagiaanya sesuai kesepakatan.
MANGAIN. Marga Sileban yang berkehendak anaknya (wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak(pria) Batak. Marga Sileban harus datang secara adat, membawa makanan namarmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau Mangain dihadapan Dongan Tubu,Boru/bere, Hula-hula/Tulang, Dongan Sahuta.

Tahapan Pelaksanaan:
1. Marga Sileban atau pendampinganya menyerahkan tudu-tudu sipanganon.
2. Marga Sileban menyerahkan putrinya kepada yang Mangain.
3. Yang Mangain, marmeme dan manghopol dengan Ulos Mangain.
4. Hula – hula yang Mangain (Tulangna) memberikan ulos parompa.
5. Marsipanganon.
6. Hata Sigabe-gabe.

Yang Mangain akan menempatkan yang diain pada urutan anggota keluarga yang tidak mengubah Panggoran (buha baju) yang sudah ada. Selanjutnya, keluarga yang Mangain bertanggung jawab melaksanakan kewajiban adat Batak kepada yang diain. Pada acara perkawinan yang diain, yang menerima Sinamot Nagok dan Suhi ni Ampang Naopat adalah yang Mangain dan keluarga. Orangtua kandung marga Sileban menerima Sinamot(panandaion) sebagai penghargaan atau penghormatan.
Pada dasarnya kedudukan Anak atau Boru yang Didampingi, Diamai, Diain, tidak sama, dan tidak punya kaitan apapun dengan ”pewarisan”. Masing masing hanya terbatas pada proses adat yang dilakukan.

Pasal 6

MANGANGKAT /MANGADOPSI
Suatu proses seorang anak (pria atau wanita) masuk dalam keluarga menjadi anak/boru, baik karena belum mempunyai keturunan maupun karena suatu hal.
1. Meminta persetujuan Haha/Anggi dan Ito, serta Hulua-hula(sekandung).
2. Mengurus kelengkapan dari catatan sipil.
3. Mengurus babtisan dari gereja.
4. Melakukan pengukuhan secara adat dihadapan :
- Dongan Tubu
- Hula – hula dan Tulang
- Boru / Bere
- Dongan Sahuta
- Raja Bius (Parsadaan dan Punguan)
5. Untuk acara pengukuhan Boru (putri) oleh namarmiak-miak, tetapi untuk pengukuhan anak (putra) sebaiknya sigagat duhut, karena kehadirannya. Selain pewaris juga akan menjadi penerus keturunan.
Tahapan pelaksanaan :
1. Penjelasan tentang tata cara.
2. Pasahat tudu-tudu sipanganon
3. Hula-hula dan Tulang mangupa / marmeme dan memberi Ulos Parompa
4. Marsipanganon
5. Yang Mangangkat menyerahkan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua undangan (Upa Raja Natinonggo).
6. Pasahat Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada hadirin.
7. Hata Sigabe-gabe.

Pasal 7

ULOS HERBANG
Ulaos Herbang untuk diberikan ke pihak Paranak pada acara perkawinan Boru Sihombing banyaknya 17 (tujuh belas) lembar, bila ada tambahan/titilan Paranak, tidak boleh lebih dari yang disediakan Sihombing dan Ulos Herbang yang akan diterima pada acara perkawinan anak (putra) Sihombing Banyaknya tidak dibatasi. Dalam menentukan banyaknya Ulos Herbang, hendaknya tetap memperhitungkan waktu penyerahan.

Pasal 8

CATATAN/PERHATIAN
1. Pada setiap acara adat pesta perkawinan dan kematian yang berhak menerima dan memberikan adat aníllala anggota yang sudah diadati (beradat).
2. Pada kejadian dukacita (mate) di mana statusnya Sarimatua atau Saurmatua, bila bonannya Sigagat Duhut, tidak boleh lagi dijalankan teken tes.
3. Acara Patua Hata dan Pargusipon, dapat dilaksanakan oleh tingkat Suhu Ompu, tetapi Acara Tonggo Raja/Rai Raja harus sampai tingkat Borsak Sirumonggur.
4. Pesta adat (unjuk) yang oleh karena keterbatasan, hendaknya tetap ulaon Borsak Sirumonggur, karena hanya menambah lebih 5 (lima) undangan. Misalnya mengundang paling sedikit seorang dari masing-masing : Haha Doli Hutagurgur, Anggi Doli Hariara, Raja parhata, Pengurus Parsadaan Borsak Sirumonggur.

Pasal 9

PENUTUP
1. Patokan dan aturan adat ini dalam penerapannya tidak boleh menjadi beban pikiran dan menimbulkan kerugian Suhut Bolon.
2. Hal-hal yang berjalan di luar Patokan dan Aturan adat ini,harus dicatat menjadi dokumen Pengurus Pusat dan dilaporkan tertulis ke Dewan Pembina.
3. Patokan dan Aturan adat yang Belum tertuang, akan ditetapkan oleh Pengurus Pusat, setelah disetujui oleh Dewan Pembina.
Disempurnakan
Dan ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 23 September 2002
DEWAN PEMBINA
BORSAK SIRUMONGGUR
JAKARTA & SEKITARNYA
Ketua Sekretaris
TTD TTD
St. Drs. Togap Lumbantoruan Drs. Ronald Marudin Sihombing
Disalin sesuai dengan aslinya, 12 Juni 2005
Sekretaris Jenderal Parsadaan Borsak Sirumonggur
P.L. Toruan

Upacara Adat Batak Untuk Orang Meninggal

Kematian merupakan peristiwa alami yang harus dialami oleh semua makhluk hidup termasuk manusia. Perbedaannya antara yang satu dengan yang lain adalah ada yang berumur pendek, ada yang berumur panjang. Demikian pula sejarah kehidupan manusia, ada yang berumur ratusan tahun ada pula yang meninggal sewaktu di dalam kandungan, ada yang begitu lahir ke dunia ini meninggal, ada yang didalam usia sekolah, remaja, dewasa, baru berumah tangga, dan seterusnya. Bagi orang batak, peristiwa meninggal, dibagi dalam dua bangian besar yaitu: Peristiwa seseorang yang meninggal sebagai Duka; dan peristiwa meninggal yang dianggap sebagai Suka Cita.

Kriteria kedua perstiwa ini masih dibagi lagi dalam beberapa status yaitu:
1. Sebagai Duka (Tilaha); secara umum, semua orang yang meninggal di kala orang tuanya masih hidup, disebut tilaha. Orang tuanya disebut tilahaon. Ada tilahaon dimana anaknya yang meninggal belum menikah. Ada yang disebut Tilahaon Matua. Yaitu seseorang yang kehilangan anak (meninggal), dimana anaknya yang meninggal tersebut sudah berumah tangga, atau sudah punya cucu. Orang tua tersebut disebut ”Tilahaon Matua”

2. Suka Cita; Seseorang yang meninggal dikala anaknya sudah menikah semua dan sudah selesai didalam adat, hingga punya cucu dan cicit, dan tidak ada diantara keturunannya meninggal mendahului dia.

Menurut sisi pandang adat batak, ada tingkatan status adat kematian.
a. Tilaha, kematian yang tidak diingini orang batak tingkat statusnya, mati bayi, mati anak muda, mati muda, mati sudah berumah tangga tapi anaknya masih kecil (mate ponggol)
b. Meninggal pada saat anak-anaknya belum semuanya berumah tangga, terutama anak laki-laki disebut “Sarimatua”
c. Meninggal pada saat semua anaknya laki dan perempuan sudah menikah dan sudah selesai dalam adat disebut “Saur Matur”
d. Meninggal setelah punya cucu dari semua anaknya, bahkan sudah punya cicit, dan tidak ada diantara keturunanya meninggal mendahului dia, serta didukung perekonomian anaknya yang sudah mandiri, disebut; Saur Matua Mauli Bulung

Adat Kematian Menurut Status
1. Tilaha (umur 0 th – dewasa belum menikah) kematian seperti ini tidak begitu ketat tuntutan adatnya. Yang berduka adalah keluarga dan tulangnya yang meninggal. Dalam pemberian saput, tulangnya merobek kain sarung sebagai saput. Dahulu, perlakuan ini dilakukan oleh tulangnya kepada berenya yang meninggal sebelum berumah tangga.

2. Tompas Tataring/Mate Ponggol., sudah berumah tangga, sudah punya anak kecil. Yang berduka adalah orang tuanya, tulangnya, anak istrinya dan mertuanya/hula-hula. Adatnya sangat sederhana, Apabila yang meninggal adalah perempuan, maka yang memberikan saput adalah hula-hula (saudara laki-laki dari yang meninggal), sedangkan yang memberikan tujung kepada suaminya yang meninggal adalah tulangnya. Apabila yang meninggal adalah laki-laki, maka yang memberikan saput kepada yang meninggal adalah tulangnya, sedangkan yang memberi tujung adalah saudara laki-laki dari istri yang meninggal. Pelaksanaan adatnya tidak begitu ketat terutama dalam pemberian piso-piso/lomba parjambaran diberikan sebagai pemberitahuan resmi kepada hula-hula/tulang bahwa bilang-bilangan mereka sudah berkurang. Diberikan pada waktu buka tujung.

3. Sari Matua. Orang yang meninggal pada saat anaknya sudah dewasa dan sebahagian sudah menikah, atau sudah semua menikah tetapi belum selesai dalam adat. Adat pada situasi seperti ini sangat rumit apabila hula-hula anaknya yang belum selesai dalam adat menuntut adat putrinya. Karena pada perinsipnya adat kematian merupakan adat terakhir dalam sejarah kehidupan seseorang dan adat dari anaknya, kepada hula-hula parumaennya, merupakan tanggung jawab dari orangtuanya yang sudah meninggal.
Pada pelaksanaan adat seperti inilah seorang raja adat harus hati-hati mengajukan konsep ulaon adat kematian. Pada saat seperti ini pembicaraan biasanya agak alot, terutama apabila konsep adat yang diutarakan adat na gok karena melihat semua anaknya sudah berkeluarga. Bagi salah satu orang tua yang hidup, masih dikenakan Tujung.

Ada sebagian orang yang meningkatkan adat yang meninggal seperti ini dengan adat nagok, dengan ulos kepada yang menduda atau menjanda “Sappe Tua”.
Hati-hati peningkatan adat seperti ini. Terutama anaknya yang belun menikah adalah laki-laki. Artinya, yang diberi ulos sappe tua, tidak boleh lagi menerima dan member ulos passamot. Karena dianggab sudah selesai hak dan kewajiban adatnya. Jadi kita sebagai generasi muda orang Batak agar selektip di dalam perlakuan adat.

Ironisnya usulan seperti ini, datangnya dari orang yang sudah lanjut usia dengan alasan supaya “jaga ulaon I”(adatnya supaya bedrmakna), bukas soal jagar. Tetapi rule, hukumnya atau kepatutannya. Sebagai hula-hula, kalau ternyata anaknya yang meninggal, kawin sama boru tulangnya, yang memberikan “ulos Sappe Tua” tadi. Pantas kah tulangnya tidak memberi ulos passamot? Atau sebaliknya, pantas kah tulangnya sebagai hula-hula memberikan ulos passamot? Jadi Raja adat dan hula-hula, hendaknya memikirkan anaknya yang meninggal. Kalau raja adat, dan hula-hula, tidak atau tidak terpikirkan sampai kesitu, maka jadilah Raja Adat “si mata hepengon”, Hula-hula oleh berenya, menjadi “tulang sattabi hita on” Maka “moral” raja dan hula-hula menjadi tanda Tanya.

4. Saur Matua. Orang yang meninggal pada situasi anak-anaknya sudah menikah semua dan sudah selesai dalam adat. Dan sudah punya cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan. Pelaksanaan adat dalam situasi yang demikian sudah agak gampang, hanya kesulitannya adalah dibidang dana/biaya. Kalau dahulu, biaya semacam ini merupakan sindikasi dari anak-anaknya serta keponakan-keponakan yang meninggal. Sehingga dahulu adat seperti ini jarang tidak terlaksana, karena adat semacam ini merupakan kebanggaan satu ompung.

Demikian juga pihak tulang dari yang meninggal, akan menjadi suka cita, karena peran tulang dalam adat tersebut sangat penting dan berhak atas buka “HOMBUNG” dalam adat Toba Holbung, Di Humbang Pada umumnya dan Dairi disebut “LOMBA” yang menurut aslinya sesuai dengan angka 48, 24, 12.yang paling kecil nilainya adalah 6. Angka ini dikaitkan dengan filosofi nama pohon, yang paling tinggi adalah “SARUMARNAEK”, yang kedua adalah “SANDUDUK” yang lain…………(penulis lupa). Bagi yang menjanda atau menduda, tidak ada lagi ulos tujung, tetapi ulos sampe tua.

5. Mauli Bulung. Seseorang yang meninggal dikala semua anak sudah menikah dan selesai dalam adat dan bahkan sudah punya cicit baik dari anak laki-laki, maupun dari anak perempuan, dan semua anaknya dan keturunannya mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup (memiliki hasangapon, hagabeon hamoraon) Kematian semacam ini juga merupakan dambaan seseorang orang tua maupun anak-anaknya dan keluarga besar se-ompung, maupun pihak hula-hula dan tulang.

Pada adat kematian yang saurmatua dan mauli bulung, keluarga akan memberikan jambar “LOMBA” juga dikaitkan dengan angka 48, 24, 12 dan tidak ada lagi “Ulos Tujung” tetapi “Sampe Tua” Dalam situasi orang meninggal seperti ini, kaitan lomba dengan angka agak ketat
Catatan:

1. Istilah “LOMBA” umumnya di daerah Humbang Hasundutan, sedangkan di lain daerah disebut “HOMBUNG”

2. Aturan pembagian besarnya “ lomba“ kepada hula-hula dan tulang, kalau laki yang meninggal, tulang mendapat satu bagian, hula-hula dapat setengah, kalau perempuan yang meninggal hula-hula mendapatkan satu sedangkan tulang dapat setengah

3. Seorang yang meninggal, walau pun sudah punya cucu, tetapi orang tuanya masih hidup (Tilahaon Matua), Kesedihan orang tua yang meninggal harus di perhatikan. Bagi orang lain terkadang baru sari matua sudah dibunyikan gondang/alat musik dan manortor untuk menyambut kedatangan hula-hula dalam acara adat. Dalam hal pengertian pemberian “sappe tua” perlu diperhatikan kata-kata yang berbunyi “nilangka to jolo, tinailihon tu pudi” pemberian ulos “sappe tua” sering berdasarkan atas nilai materi yang dimiliki keluarga.

Sejalan dengan itu atas permintaan keluarga dengan alasan agar sangap, sebab yang meninggal orang terpandang, kaya, tokoh. Pada hal masih ada dua atau satu orang anaknya yang belum menikah, maka artinya, apabila anak tersebut menikah, si duda atau si janda tidak akan bisa menerima ulos “pansamot” dan inilah yang juga perlu dipikirkan oleh hula-hula dan tulang. Kalau kemudian sianak manunduti mengambil boru tulang dari mamaknya atau boru tulang dari ompungnya. Yang menjadi pertanyaan apakah mereka tidak memberikan ulos “pansamot” kepada ibotonya? Kecuali anaknya sudah sewajarnya berumahtangga dilihat dari sisi umur maupun kemapanan ekonomi, mungkin pertimbangannya, kalau selamanya tidak akan berumahtangga, maka jangan lah menjadi penghalang bagi adat pasangaphon hula-hula yang terakhir dari orang tuanya yang meninggal.

Tahapan Ke Arah Pelaksanaan Adat.
1. Keluarga berkumpul untuk mencari kesepakatan (adat dan dana) tentang konsep adat yang akan dilaksanakan.

2. Setelah ada kesepakatan, maka konsep adat yang akan dilaksanakan, disampaikan kepada tetua adat untuk mendapatkan pengarahan sesuai konsep yang sudah disepakati. Di sinilah fungsi raja adat/tetua adat dalam menyikapi konsep adat yang diterima, apabila ada kekurangan dan kelebihan tentunya tetua adat/ raja adat mempunyai fungsi untuk menyempurnakan. Setelah tidak ada masalah, undangan diberikan kepada pihak tulang dan hula-hula serta kepada tetaua adat. Apabila sudah saur matua dan mauli bulung, undangan disampikan juga kepada hula-hula, buna tulang, hula-hula namarhaha-anggi dan hula-hula anak manjae serta tulang rorobot/narobot.

3. Setelah hula hula hadir semua, antara hasuhuton dengan pihak hula-hula duduk berhadapan dan hasuhuton terlebih dahulu mengecek kehadiran semua undangan terutama hula-hula dan tulang serta tulang rorobot.

4. Kata sambutan dari hasuhuton (hata huhuasi) atas kehadiran semua undangan terutama atas kehadiran horong ni hula-hula. Pada akhir huhuasi, diberitahukan maksud dan tujuan undangan. Dan minta nasehat terhadap rencana yang diutarakan

5. Kalau sudah ada kesepakatan antara hasuhuton, horong ni hula-hula serta dongan sahuta, tentang konsep adat yang akan dilaksanakan terhadap yang meninggal, maka pada hari yang sudah ditentukan dalam pelaksanaan adat, tinggal mengikuti konsep yang sudah disepakati tadi. Parrapoton.

Bagi sebagian daerah, pembicaraan konsep adat dengan hula-hula, sudah dianggap parrapoton. Akan tetapi disebagian daerah, parrapoton diadakan pada saat pembukaan pelaksanaan adat, dipimpin oleh seorang raja adat yang sudah punya cucu.

Raja adat tersebut akan memperkenalkan diri di depan halayak ramai dan keluarga yang kemalangan; “Au na di patua di adat di ……….(huta ….atau di parserahan…….) on, na margoar ……… marga ….., goar maroppuni, Oppu ……….marga ……..Manguluhon parrapoton di partua ni amanta/inanta naung jumolo monding on dst.”

Di perantauan, yang memimpin parrapoton belum tentu raja adat Huta dari mana keluarga kemalangan berasal. Tetapi raja adat dari hula-hula atau tulang. Hula-hula apabila yang meninggal adalah ibu, sedangkan tulang, apabila yang meninggal adalah bapak.

Pada saat parrapoton; Hasuhuton, menyediakan piring berisi beras serta uang beberapa lembar sesuai kehadiran hula-hula

1. Hula-hula atau tulang bertanya kepada hasuhuton di depan hkalayak tentang keturunan yang meninggal, apakah sudah sanggup dan pantas melakukan adat sesuai dengan konsep yang mereka terima atau masih ada yang mengganjal.

2. Kemudian menanyakan kepada khalayak tentang Kepatutan dan kepantasan adat yang akan dilaksanakan sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.

3. Menanyakan kepada khalayak, semasa hidupnya almarhum/almarhumah, apakah ada persoalan-persoalan tertulis atau lisan/hutang piutang dan lain-lain yang belum selesai. Setelah tidak ada komplain dari khalayak, terutama pihak hula-hula maka, konsep adat oleh raja adat dalam hal ini dari pihak hula-hula, dapat dilaksanakan dengan mengetuk piring tiga kali yang berisi beras dan uang. Apabila terdapat persoalan menurut kebiasaan setempat dan persoalan surat menyurat yang belum tuntas, maka hula-hula memohon kepada hasuhuton untuk menyelesaikannya, atau menyesuaikan adat sesuai dengan kebiasaan setempat.

Setelah diketok tiga kali dengan logam, maka dibagikan lah uang yang diatas piring tadi kepada: hula-hula bona tulang, hula-hula namarhaha anggi, hula-hula anak majae, tulang rorobot. Yang terakhir kepada tulang dan hula-hula. Beras yang diatas piring, di taburkan ke kepalanya semua keturunan yang meninggal, secara berurutan dan penutup, ditaburkan tiga kali secara sporadis. Maka pelaksanaan adat sah untuk dilaksanakan.

Adat saur matua dan mauli bulung seperti ini, sudah dikatakan “tu dolok na timbo, di atas ni batu napir na martindi-tindi, di bona ni hariara, na marurat tu toru marbulung tu ginjang, mardakka tu lambung” Dan perlakuan adat disini, hasuhuton menebar uang kepada halayak, terutama kepada hula-hula (Mangalindakhon na gok) Ulaon na gok di namonding.

Telah kita bahas mengenai tingkat adat dalam kematian, Toppas Tataring dan Sari Matua, dapat dilaksanakan adat na Gok. Tetapi perlakuannya tidak seperti adat di Saur Matua atau Mauli Bulung. Adat Selatan atau Sipirok hampir ada kesamaannya dengan perlakuan adat Na Gok di Hubbang, utamanya Pakkat Sekitar dan Parlilitan.

Hal ini ditandai dengan pemberian Lomba kepada hula-hula atau tulang. Biasanya, kalau yang ditinggalkan yang meninggal anak laki-laki. Kata orang-orang tua dulu, “dao ma anak na nidondonan ni Lomba” karena adat yang meninggal belum selesai kepada hula-hula atau tulang, maka hal itu tetap menjadi hutang adat bagi si anak yang di tinggal.

Jika kemudian si anak menjadi seorang yang berada, dan dia memiliki “Hasangapon, Hagabeon, dan Hamoraon” ingin berbuat yang baik kepada orang tuanya, atau pesta adat yang lain, maka tidak ada lagi penghalang. Hula-hula atau tulang tidak menuntut hutang adat dari orang tuanya yang sudah lebih dulu meninggal.

Bagi kepercayaan orang tua dulu, seorang anak yang di dondoni lomba akan mendapat masalah dalam kehidupannya(cekak) Soal perlakuan adatnya, sudah sama dengan apa yang biasa kita lihat setiap adat kematian.

Di dalam acara sari matua diberengi dengan adanya tilahaon matua, walaupun adat na gok, di dalam acara adatnya jangan sekali-kali padenggal tangan dan membunyikan musik untuk menyambut kedatangan hula-hula.

Pada umumnya, orang batak agak berpikir tiga kali untuk melaksanakan ulaon yang besar dalam adat kematian, yang mana orang tua yang meninggal masih hidup. Karena apabila orang tua yang meninggal kelak, maka ulaon adat kematian terhadap orang tua yang tilahaon matua tadi, akan jauh lebih besar. Karena aturan perlakuan adat sihabatakon dalam kontek tilahaon matua, adalah suatu hal yang memalukan bagi keluarga kalau lebih besar ulaon kematian anak dari pada adat kematian kemudian yang tilahaon matua.

Mengenati pembicaraan adat dalam adat kematian, tidak seperti pembicaraan di ulao adat perkawinan. Pembicaraan dialog (two way communication) hanya terjadi pada “Tonggo raja”. Dialog di sini hanyalah untuk menyamakan persepsi antara hula-hula dengan hasuhuton, tentang konsep adat yang akan di laksanakan. Selanjutnya yang terjadi adalah monolog (one way communication), pada “hata huhuasi, hata nauli sian namarholong ni roha, hata nauli sian horong ni hula-hula, dohot hata pangappuon.(br14).

dikutip dari: http://www.pakkatnews.com/pemahaman-tata-aturan-adat-kematian.html

Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak

Salah satu perbedaan terbesar antara masyarakat di belahan dunia Timur dengan di belahan
dunia Barat adalah dalam hal adat istiadat. Kehidupan masyarakat Timur dipenuhi dengan
berbagai jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan,
perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain -lain. Upacara-upacara di sepanjang
lingkaran hidup manusia itu di dalam antropologi dikenal dengan istilah rites de passages atau
life cycle rites.

Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus.
Upacara ini didasarkan pada pemikiran bahwa masa peralihan tingkat kehidupan itu
mengandung bahaya gaib. Upacara adat dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang
terhindar dari bahaya atau celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya, mereka
memperoleh berkat dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal yang terdapat di balik
pelaksanaan setiap upacara adat itu.

Beberapa life cycle rites yang dijumpai pada masyarakat Batak Toba di antaranya: mangganje
(kehamilan), mangharoan (kelahiran), martutu aek dan mampe goar (permandian dan
pemberian nama), marhajabuan (menikah), mangompoi jabu (memasuki rumah), manulangi
(menyulangi/menyuapi), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang),
dll. Pada masyarakat Batak lainnya (Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, dan Pakpak
Dairi), upacara tersebut memiliki sebutan-sebutan yang berbeda.

Persoalan besar dan sangat penting yang dihadapi oleh seseorang yang memutuskan untuk
sungguh-sungguh mengikut Tuhan Yesus adalah: apakah dia masih boleh terlibat dalam
upacara adat Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani
(haholomon) dan penyembahan berhala (hasipelebeguon). Permasalahan tersebut muncul
ketika Injil Tuhan Yesus diberitakan pertama kalinya oleh para Missionaris di Tanah Batak, dan
terus berlanjut hingga masa kini. Persoalan ini belum tuntas diselesaikan, baik sewaktu Pdt.
I.L. Nommensen masih hidup, pada masa gereja dipimpin para Missionaris penerusnya,
maupun pada masa pimpinan gereja berada di tangan orang Batak sendiri.
Nommensen mencoba membagi upacara adat atas tiga kategori, yaitu:
i. Adat yang netral
ii. Adat yang bertentangan dengan Injil
iii. Adat yang sesuai dengan Injil

Sebelum masalah itu tuntas, beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras
dilaksanakannya upacara adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk penggunaan musik
dan tarian (gondang dan tortor) Batak. Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada masa itu
banyak yang dikucilkan dari masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa menampung mereka
dengan membangun perkampungan baru, yang disebut Huta Dame.
Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing pernah dikenai disiplin gereja karena menghadiri sebuah
upacara kematian. Raja Pontas Lumban Tobing adalah orang yang memberikan tanahnya di
Pearaja, Tarutung untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan gereja. Dia termasuk seorang raja
Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini
mempunyai andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau
raja-raja di wilayah Silindung.

Namun sampai akhir hidupnya, Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah
satu sumber kegagalan Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri.
Nommensen sulit menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan dengan Injil
dan upacara adat mana yang netral.

Pada masa-masa akhir pelayanan para Missionaris di Tanah Batak, ditengah-tengah umat
Kristen Batak muncul suatu desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan
mengganti kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil
dengan diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942).
Tekanan supaya diizinkannya kembali upacara adat muncul sebagai dampak negatif dari
strategi penginjilan di tanah Batak dengan pendekatan struktural masyarakat Batak.
Penginjilan dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada raja-raja yang memimpin di
wilayah masing-masing marga. Pertobatan seorang raja biasanya segera diikuti dengan
pembaptisan massal dari penduduk di wilayah itu, yang umumnya memiliki ikatan kekerabatan
dengan sang raja. Dengan cara ini, para Missionaris berhasil dengan cepat mengkristenkan
wilayah Tapanuli bagian Utara.

Pihak gereja yang mengutus Nommensen menolak adanya pembaptisan massal yang tidak
didasarkan pada pertobatan pribadi. Namun, Nommensen terpaksa melakukannya mengingat
cepatnya gerakan islamisasi di Tapanuli Selatan, yang digerakkan oleh pasukan Tuanku Imam
Bonjol dan Tuanku Rao. Nommensen berharap mereka yang telah dikristenkan dapat
dibimbing dalam ajaran Tuhan di kemudian hari untuk memasuki pertobatan pribadi, mengikut
Yesus karena kemauan sendiri dan karena sudah mengerti ajaran Injil.
Dalam kenyataannya, pembaptisan massal kerabat seorang raja yang menjadi pengikut Yesus
banyak dilakukan karena solidaritas kekerabatan, bukan karena pertobatan murni dari
pemahaman akan Injil Yesus Kristus. Banyak dari mereka belum mengenal kekayaan dan
kemuliaan Injil Yesus Kristus sehingga tidak pernah mengalami pembaharuan hidup oleh kuasa
Roh Kudus dan mengerti keunikan Injil Kristus.

Pembaptisan massal tersebut memberikan kesibukan yang luar biasa bagi para Missionaris
dalam melayani Jemaat baru tersebut. Karena keterbatasan jumlah Missionaris, banyak
anggota Jemaat tersebut yang tidak sempat dibina dalam prinsip-prinsip sejati pemuridan
Yesus Kristus. Secara organisasi mereka anggota gereja, tetapi dalam pemikiran dan cara
hidup mereka masih sebagai orang Batak Haholomon (kegelapan) yang terikat dengan cara
pikir dan cara hidup hasipelebeguon.

Persoalan ini juga disebabkan oleh tidak adanya pedoman atau aturan gereja yang jelas dari
pimpinan di Jerman, yang mengirim para Missionaris. Mereka sendiri belum dapat
memutuskan sikap yang jelas terhadap upacara adat Batak karena upacara adat Batak
merupakan hal baru bagi mereka. Karenanya, terdapat perbedaan sikap yang belum pernah
dituntaskan di antara para Missionaris dalam menyikapi jenis-jenis upacara adat Batak yang
harus ditinggalkan. Namun pada prinsipnya, mereka sangat menekankan bahwa segala bentuk
hasipelebeguon harus ditinggalkan, karena bertentangan dengan Firman TUHAN.

Pdt. I.L.Nommensen yang pelayanan utamanya berada di Silindung memiliki sikap yang tegas
melarang keberadaan berbagai unsur upacara Hasipelebeguon, termasuk tortor dan gondang.
Tetapi Gustav Pilgram yang melayani di Balige dan sekitarnya justru mengizinkan tortor dan
gondang dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti: unsur hasipelebeguon harus
dihilangkan, pemimpinnya harus missionaris, dilaksanakan pada siang hari, peralatannya milik
orang Kristen, dan tidak boleh diikuti oleh orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus.
Perbedaan sikap Pilgram itu dianggap oleh banyak orang Batak sebagai lampu hijau bagi
penerimaan adat Batak di dalam kekristenan. Mereka tidak memahami alasan Pilgram
mengizinkan dan memahami sikap dasar Pilgram bahwa segala bentuk hasipelebeguon tetap
harus disingkirkan dari kehidupan kekristenan. Alasannya untuk mengizinkan tortor dan
gondang dapat kita baca dari “referat 1885” (dikutip dari buku “Parsorion ni Gustav Pilgram”,
karangan DR. Andar Lumban Tobing):
Disipareonta tung sogo do gondang i, jala tortor i pe ndang pasonanghon pamerenganta. Alai
na mansai manarik gondang dohot tortor i di halak Batak, boi do dibuktihon godang ni loloan
na bolon na mandohotsa. Haru angka Kristen dohot angka parguru pe, tung maol do padaohon
nasida sian i. Aut so manarik situtu na ginoran ondeng tu halak Batak i, ndang apala penting
tema i, ia so i, molo halak Kristen naung marpangalaman sambing do siadopanta dison, na so
mamorluhon gondang dohot tortor, ndang penting tema ginoran nangkin, ai manang ise
marnampunahon Anak ni Amata, nunga di ibana hangoluan na saleleng-lelengna, nunga
martua nuaeng nang ro di saleleng-lelengna, jala ndang mamorluhon gondang dohot tortor be
ibana. Alai dison angka Kristen na baru tardidi dope dohot angka na so marpangalaman, na
ingkon sitogu-toguon dope songon dakdanak. Didok rohangku, ndang adong hakta mambuat
sude sian nasida naung adong hian di nasida, saleleng so adong pangantusion di nasida
mangonai na dumenggan i na naeng boanonta tu nasida.

Pilgram tidak setuju, namun terpaksa mengizinkan keberadaan gondang dan tortor. Mereka
dinilai belum memiliki pengertian akan Kristus, belum berpengalaman, masih seperti seorang
anak kecil. Dia berkeyakinan, bila orang Batak itu sudah memiliki pengenalan akan Kristus
(dewasa rohani), dia akan mengenal arti hidup yang kekal di dalam Kristus itu, dan pada
akhirnya mereka tidak memerlukan lagi tortor dan gondang itu dan meninggalkannya. Jadi
tidak perlu dipaksa. Namun, setelah ditunggu selama seratus lima belas tahun kemudian,
yakni awal tahun 2000 ini, masih banyak orang Kristen Batak yang masih hidup didalam
tingkat rohani seperti yang dikatakan oleh Pilgram itu. Alangkah pedihnya hati Pilgram kalau
melihat kenyataan seperti yang ada saat ini.

Pendudukan Jepang memaksa para Missionaris meninggalkan Indonesia tanpa berhasil
menuntaskan masalah upacara adat. Kepergian mereka meninggalkan kekosongan teologia
(theologia in loco) dan kebingungan rohani di tengah-tengah Jemaat Batak. Keterikatan
dengan pola hidup lamanya telah mendorong Jemaat untuk mendesak pimpinan gereja mengizinkan
kembali pelaksanaan berbagai upacara adat. Desakan ini didukung oleh argumentasi
teologis yang dikemukakan para pemimpin rohani yang belum mengalami pembaharuan total
dalam pola pemikirannya.

Argumentasi teologis tersebut merupakan suatu pemahaman Injil yang mengkompromikan
kebenaran ajaran Injil dengan ajaran agama Batak, teologia yang bersifat sinkretis
(pengajaran atau cara hidup yang berasal dari campuran dua atau lebih ajaran), yang dapat
diterima oleh pemikiran jemaat kebanyakan. Dalam teologi ini diakui bahwa Yesuslah satusatunya
Jalan, Kebenaran, dan Hidup, tetapi dalam hidup sehari -hari perlu dipertahankan
upacara adat (agama) Batak, yang diketahui dengan jelas berasal dari Hasipelebeguon.
Teologi Sinkretis inilah yang diajarkan kepada Jemaat Kristen Batak sampai hari ini. Teologi
Sinkretis ini telah menjadi arus utama didalam pemahaman iman Jemaat Kristen Batak pada
masa sekarang.

Akibatnya, pada generasi berikutnya merebak kembali pelaksanaan berbagai upacara adat
yang sebelumnya telah dilarang oleh para Missionaris untuk dilakukan. Sebagai contoh,
upacara kematian (hamatean), upacara memindahkan tulang belulang (mangongkal holi),
pelaksanaan tortor dan gondang Batak di gereja dan berbagai upacara lainnya.
Bukan itu saja, upacara penyembahan nenek moyang yang merupakan inti agama Batak pada
masa kegelapan, kembali merebak dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen sekarang.
Kebangkitan penyembahan ini mengambil bentuk baru yang ditandai dengan menjamurnya
pembangunan tugu-tugu marga Batak. Anda dapat melihat banyaknya tugu yang dibangun di
sepanjang jalan lintas antara kota Parapat dengan kota Tarutung. Tugu tersebut dibangun oleh
keturunan marga yang berasal dari satu garis leluhur (ompu parsadaan). Pembangunan ini
telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan mendatangkan kemerosotan rohani yang
dalam. Kalau dahulu Nommensen mau dikorbankan oleh orang Batak kepada roh sembahan
leluhur marganya diatas bukit Siatas Barita, maka sekarang yang terjadi sebaliknya. Banyak
pendeta dan penatua pemimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek moyang di tugutugu
marga.

Ironisnya lagi, pelaksanaan upacara dari masa kegelapan itu dibungkus dengan kebaktian
gerejawi, yang dilaksanakan di lokasi pendirian tugu marga dimana tulang belulang leluhur
tersebut dikuburkan kembali. Proses pembangunan tugu juga banyak melibatkan kuasa-kuasa
setan melalui datu (spirit medium), misalnya untuk menentukan lokasi penggalian tulang
belulang leluhur marga.

Tanpa disadari umat Tuhan di tanah Batak telah berubah menjadi umat yang mendua hati
(shizoprenis: terpecah), yang pada satu sisi mencoba untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus,
pada sisi yang lain giat melakukan ajaran agama nenek moyangnya. Dalam hidup keseharian
terjadi pencampuran kedua ajaran agama (sinkretis), yaitu agama leluhur dan Injil Yesus
Kristus. Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromis, permisif dan kebenaran Injil
yang mutlak menjadi relatif. Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada
Adat (agama Hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan.

Sinkretisme orang Kristen Batak dapat kita lihat di dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan
orang Kristen Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya
dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut merupakan
suatu keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang
memerintahkannya. Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara
adat Batak, sering menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah.

Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung
gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Perbedaannya hanya terletak pada orang
yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan
datu digantikan oleh pendeta, tetapi rangkaian upacara adat (agama leluhur) selanjutnya
tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan Yesus dianggap belum cukup, dan perlu
disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan lainnya. Kesempurnaan dan kemutlakan
karya Yesus Kristus telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan
leluhur itu.

Sinkretisme ini bukan hanya terjadi di kalangan gereja -gereja tradisional Batak, tetapi juga
telah merembes kepada orang-orang Kristen Injili yang mengaku Alkitabiah, menjunjung
tinggi keunikan Injil dan lebih giat memberitakannya. Dari mimbar kaum Injili yang ada di
Sumatera Utara sering disuarakan dukungan atas pelaksanaan upacara adat Batak. Merekapun
banyak yang terlibat di dalam pelaksanaan aktivitas tersebut.

Orang Batak telah melupakan prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan gelap,
dan kebenaran tidak dapat dipersatukan dengan ketidakbenaran. Dalam bahasa Tuhan Yesus:
“Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikia n, ia akan
membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang
seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada
Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24).

Seiring dengan merebaknya kembali aktivitas upacara adat di tengah-tengah bangsa Batak,
kemerosotan rohani yang besar terjadi, baik pada kaum awam, maupun pada pemimpin
gereja. Kemerosotan itu nampak pada banyaknya perpecahan dalam gereja Batak, contohnya
kasus perpecahan gereja HKI, GKPI, dan HKBP. Perpecahan itu juga telah terjadi pada hampir
setiap gereja suku di Sumatera Utara. Perpecahan gereja Batak banyak bersumber pada akar
budaya Batak itu sendiri, dan konflik kepentingan di antara pemimpin umat; bukan karena
masalah teologia. Perpecahan yang besar berpuncak pada kasus gereja HKBP yang sangat
menghebohkan, yang telah banyak mengorbankan materi, darah bahkan nyawa manusia.
Semuanya sangat mempermalukan nama Tuhan Yesus.

Kemuliaan dan kehormatan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan Yesus, telah diberikan
kepada iblis dan Pemimpin Jemaat. Wajar jikalau damai Tuhan Yesus tidak ada disana. Seruan
para malaikat di Betlehem mengajarkan bahwa damai Tuhan hanya akan diberikan kepada
orang yang berkenan kepada-Nya, yaitu orang yang memberikan kemuliaan kepada Tuhan
Yesus. “Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi
diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:14). Gereja HKBP (tempat penulis
saat ini bergereja) sering diserukan sebagai “HKBP Na bolon I” (HKBP yang besar), padahal
gelar Na Bolon I tersebut hanya layak diberikan kepada Yesus Kristus.

Gereja yang seharusnya Duta Pembawa Damai di dunia, telah berubah menjadi sekumpulan
orang-orang yang saling berperang. Gereja telah menjadi arena peperangan baru bagi orang
Batak di zaman modern ini. Peperangan bukan hanya terjadi di kalangan kaum awam, namun
juga telah merebak sampai kepada pucuk pimpinan gereja itu sendiri. Sangat tepat dikatakan
bahwa orang Batak telah kembali kepada masa hidup nenek moyangnya, yang ditandai
dengan tingkat konflik yang tinggi, dimana sering terjadi peperangan (marporang) antar
kampung (huta). Konflik di gereja HKBP beberapa tahun belakangan ini merupakan contoh
terbesar dari peperangan antara sesama orang Batak masa kini.

Pemberitaan keselamatan manusia di dalam Tuhan Yesus, yang seharusnya merupakan
kesibukan utama bagi gereja Tuhan, telah berganti dengan banyaknya waktu yang terbuang
untuk mengikuti berbagai upacara adat. Kelalaian dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan
Yesus tidak pernah dinyatakan sebagai dosa yang serius oleh pimpinan gereja. Tetapi,
penolakan aktivitas upacara adat, atau ketidaktepatan pelaksanaan upacara adat segera akan
mengundang komentar yang tajam dan ramai. Perdebatan dan pertengkaran karena masalah
adat merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Kemerosotan rohani dapat kita lihat juga dalam kehidupan sehari-hari. Anda jangan heran,
jikalau pada masa sekarang, banyak orang Batak Kristen yang sangat takut untuk tidak
melakukan upacara adat. Sementara untuk tidak mentaati Firman Tuhan itu merupakan hal
yang dianggap sepele saja oleh mereka. Bahkan, sering dijumpai orang yang lebih senang
dikatakan sebagai orang yang tidak “ber-Tuhan” (ndang martuhan) daripada dikatakan
sebagai orang yang “tidak beradat” (ndang maradat). Tanpa disadari, adat Batak telah kembali
menjadi berhala atau ilah yang dijunjung tinggi di hati orang Kristen Batak.

Kemerosotan rohani juga dapat kita lihat pada banyaknya orang-orang Kristen Batak yang
terlibat berbagai dosa seperti perdukunan, spiritisme (berhubungan dengan arwah orang
mati), memberikan persembahan di kuburan, perzinahan, kebebasan seksual, rentenir,
perjudian, kemabukan, korupsi, suap-menyuap, pembunuhan, kekerasan (premanisme),
perkelahian dan berbagai dosa lainnya.

Dalam dunia pekerjaan, berbagai jabatan yang penting dan strategis di birokrasi dan
pemerintahan, yang pada awal kemerdekaan banyak dipegang oleh orang Kristen Batak, pada
saat ini telah beralih kepada orang-orang lain. Bukan itu saja, peluang untuk mendapatkan
pekerjaan khususnya dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi sangat sulit diperoleh oleh
orang Batak Kristen, kecuali dengan menyogok (ber-KKN).

Kita semua tahu bahwa banyak orang Kristen Batak yang telah menjual imannya (iman
kepada Yesus Kristus), demi memperoleh suatu pekerjaan, pernikahan, pangkat dan jabatan.
Barter harta rohani yang tak ternilai harganya, dengan barang-barang murahan dari dunia ini
telah banyak dilakukan oleh kaum Esau dari Bona Pasogit, Tano Batak. Firman Tuhan dibawah
ini patut menjadi bahan pemikiran kita:
“Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau
akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan TUHAN, Bapamu,
yang kusampaikan pada hari ini engkau lakukan dengan setia” (Ulangan 28:13).
Karena itu, persoalan adat kini harus diselesaikan, karena kita mengetahui bahwa upacara
tersebut telah menimbulkan masalah rohani yang besar. Kita tidak mau membiarkan iblis
memperoleh kembali peluang untuk mencengkramkan kukunya pada generasi Batak saat ini.
Semuanya itu sangat mendukakan hati Tuhan dan mendatangkan murka atas bangsa Batak.
Karena itu sudah merupakan kewajiban dari generasi Kristen Batak pada masa kini untuk
mengevaluasi kembali kehidupan kerohaniannya di hadapan Tuhan Yesus. Evaluasi tersebut
mencakup cara pandang, sikap dan tindakan kita terhadap eksistensi upacara adat.

Evaluasi itu hanya mungkin dilakukan apabila kita mau datang kepada Tuhan Yesus dengan
sungguh-sungguh, dan meminta dengan tekun agar Dia menerangi hati kita, dan
menyingkapkan rahasia Firman-Nya. Karena hanya Tuhan Yesus, melalui Roh-Nya, yang
memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan seluruh kebenaran Firman Tuhan. Sehingga Dia
berkenan mengoreksi segala pemikiran, konsep, nilai, prinsip, cara dan tindakan kita selama
ini. Seruan untuk kembali kepada Tuhan Yesus sangat mendesak untuk diberitakan pada saat
ini. “Wahai bangsa Batak, kembalilah kepada Tuhan Yesus”, “Back to Jesus!”
Semuanya ini hanya mungkin, bila kita mau merendahkan hati untuk dikoreksi dan diajar oleh
Tuhan Yesus, sama seperti seorang anak kecil, yang memiliki kepolosan, keterbukaan dan
kejujuran untuk diajar. Bukan untuk sekedar menambah pengetahuan teologia belaka, tetapi
benar-benar untuk mentaati-Nya. Karena Roh Kudus hanya akan mengerjakan hal tersebut
bila kita dinilai-Nya telah memiliki ketaatan hati, sekalipun kebenaran itu sangat pahit untuk
memulainya (Kisah Para Rasul 5:32).
Karena itu, doa sang Pemazmur sangat relevan untuk dipanjatkan secara sungguh-sungguh
oleh orang-orang Kristen Batak:
“Selidikilah aku, ya Tuhan, dan kenalilah hatiku, ujilah aku dan kenalilah pikiranku;
lihatlah apakah jalanku serong dan tuntunlah aku di jalan yang kekal.” (Mazmur
139:23,24)
Renungan ini mencoba melihat kembali tentang sikap dan pandangan Tuhan terhadap masalah
upacara adat, khususnya yang hidup dalam masyarakat Batak, dengan mengambil contoh
kasus utamanya dari sub suku bangsa Batak Toba. Penulis hanya akan membatasi
pembahasan pada beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pelaksanaan upacara adat,
dan tidak akan menguraikan detail dari pelaksanaan upacara tersebut. Karena melalui
renungan ini, tidak mungkin menguraikan dan mengkaji segala aspek dari berbagai macam
upacara adat yang ada di tengah-tengah masyarakat Batak.

Penulis sadar, bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini sangat bertentangan dengan
pemahaman teologi yang umumnya diyakini oleh masyarakat Batak sekarang. Apa yang
dituliskan disini merupakan suatu pemahaman alternatif, alkitabiah, dan Injili, yang Tuhan
Yesus bukakan secara bertahap kepada penulis. Penguraian ini akan menyentuh hal-hal yang
sangat sensitif di hati orang Batak, yang mungkin akan dapat membangkitkan rasa marah dan
benci bagi sebagian orang. Tetapi penulis berketetapan hati di hadapan Tuhan Yesus untuk
memberitakannya. Kalau Anda mau mencari kebenaran Tuhan, dipersilahkan untuk
membacanya terus.

Pertentangan pasti muncul, karena sudut pandang dalam melihat adat itu memang berbeda.
Pandangan Kristus tidak pernah sama dengan pandangan manusia yang dunia wi. Pandangan
Kristus jauh lebih tinggi dari pandangan duniawi. Penafsiran seseorang mengenai adat istiadat
muncul dari suatu titik pijakan, sikap hati dan tujuan yang hendak dicapainya. Persoalannya,
apakah kita memiliki dasar pijakan yang sama dengan Tuhan Yesus? Kuasa Roh Kudus hanya
akan menyertai dan mengurapi orang-orang yang memberitakan Firman sesuai dengan
maksud-Nya.

Penulis sangat terkejut ketika membaca sebuah buku, yang berjudul “Christ and Culture”
(Kristus dan Kebudayaan), yang ditulis oleh seorang teolog terkenal, yang bernama DR.
Richard Niehbur. Dalam buku tersebut dijelaskan alasan menyebabkan orang-orang Yahudi
dan para pemimpin bangsa tersebut menyalibkan Tuhan Yesus. Niehbur berpendapat bahwa
orang-orang Yahudi membunuh Tuhan Yesus karena segala pengajaran dan tindakanTuhan
Yesus merusak adat istiadat dan agama Yahudi, yang sangat mereka banggakan. Akhirnya,
mereka harus memilih, antara membinasakan Tuhan Yesus atau membiarkan agama dan adat
istiadat Yahudi hancur. Demi mempertahankan keutuhan adat dan agama tersebut, mereka
memilih untuk membinasakan Tuhan Yesus, orang yang dianggap sebagai sumber kerusakan
itu.

Peristiwa tersebut menjadi pelajaran, sekaligus tantangan bagi kita sebagai pengikut Kristus
didalam menghadapi kontroversi masalah adat. Yesus Kristus hadir di tengah-tengah
kemerosotan rohani bangsa Israel yang menjalar di seluruh bidang kehidupan. Dia segera
mengenali ketidakberesan bangsa tersebut dalam cara pandang dan sikap terhadap Firman-
Nya. Lalu, dari mulut-Nya yang kudus keluar penilaian dan koreksi-Nya terhadap agama dan
adat istiadat bangsa tersebut.

Demikian juga bagi bangsa Batak, di tengah-tengah kemerosotan rohani yang terjadi masa
kini, sangat diperlukan kembali adanya suatu reinterprestasi dan pembaharuan sika p akan
eksistensi upacara adat Batak yang berasal dari masa kegelapan itu. Dengan kata lain, gereja
Tuhan di tanah Batak sangat memerlukan “reformasi iman” dalam kehidupan rohaninya.
Karena itu, kita ditantang Tuhan untuk mengambil sikap, antara menyuarakan Injil atau
mempertahankan berbagai upacara adat tersebut.

Karena itu, penulis akan memaparkan beberapa prinsip utama yang mendasari upacara adat
yang sangat bertentangan dengan Injil. Melalui beberapa prinsip itu kita akan melihat strategi
iblis untuk mengikat dan mengendalikan hidup masyarakat Batak. Strategi itu juga merupakan
benteng rohani yang dibangun oleh iblis agar masyarakat Batak dapat diperhambanya dari
generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian umat Tuhan akan kehilangan kekuatan
rohaninya dan hidup dalam kekalahan rohani terhadap kuasa iblis dan roh-roh jahat. Selain
itu, semangat dan kuasa untuk memberitakan Injil dapat dipadamkan dari tengah-tengah
Jemaat Batak, seperti yang terjadi saat ini.

Dalam perbincangan sehari-hari, penulis sering mendengar keluhan dari orang-orang Batak
tentang masalah adat. Banyak yang mengungkapkan keinginannya untuk terlepas dari
upacara adat karena melihat tidak ada keuntungannya, bahkan menyalahi Firman Tuhan.
Sayangnya, sangat sedikit dari mereka yang memiliki keberanian untuk melakukannya.
Umumnya, mereka mengambil jalan aman dengan tetap melibatkan diri, daripada terlibat
konflik dengan sesama kerabat atau jemaat gerejanya. Orang Batak telah kehilangan “darah”
dalam menegakkan dan menyuarakan ajaran Injil.

Pada awal milenium ketiga ini, dimana saat kedatangan Tuhan Yesus semakin dekat,
dibutuhkan adanya suatu kebangunan rohani di tengah-tengah bangsa Batak. Kebangunan
rohani akan dimulai, jikalau ada orang-orang Batak yang memiliki cara pandang dan sikap
yang lebih tajam dan Injili didalam menilai eksistensi upacara adat, serta memiliki keberanian
untuk menyuarakannya pada zaman ini. Karena hanya orang-orang yang seperti ini yang akan
diperlayakkan TUHAN untuk memasuki arena peperangan rohani melawan kuasa-kuasa
kegelapan, yang telah membelenggu, membutakan serta melumpuhkan kehidupan umat
Tuhan di tanah Batak. Kemenangan pasti menjadi milik kita.

Kepada orang yang benar-benar mencintai Tuhan Yesus dengan segenap hatinya, perlu
dibukakan berbagai bentuk benteng rohani yang telah dibangun oleh iblis dalam upaya
menguasai, membelenggu, dan memperbudak bangsa Batak dari satu generasi ke generasi
lainnya. Pengertian ini akan menolong mereka untuk dapat terlepas dari segala jerat iblis di
dalam adat Batak, dan beribadah kepada Tuhan Yesus dalam kebenaran dan kekudusan
seumur hidupnya.

Penghancuran benteng-benteng iblis yang ada dalam diri orang Batak akan menghasilkan
saksi-saksi Kristus yang diurapi dengan keberanian dan kuasa Roh Kudus. Sehingga pada awal
abad ke-21 ini akan bangkit orang-orang Kristen Batak yang dipakai oleh Tuhan dalam
menyelesaikan Amanat Agung-Nya, dengan melepas mereka dari genggaman kuasa iblis.
Dengan demikian kita dapat mempersiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya,
dalam rangka menyambut kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali, yang waktunya sudah
semakin sangat dekat.

Renungan ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang mau mengasihi Tuhan Yesus dengan
segenap hatinya, yang mau dipakai-Nya dalam peperangan rohani. Yaitu, kepada mereka yang
memiliki keprihatinan rohani (sense of spiritual crisis ) terhadap nasib bangsa Batak; kepada
orang-orang yang mau mencari Kerajaan Sorga dan mau mengikut Tuhan Yesus dengan
sungguh-sungguh. Karena hanya merekalah yang mau memikul salib Kristus sebagai
konsekuensi atau harga dari ketaatan pada Injil untuk meninggalkan upacara adat Batak.

Partuturan Ni Halak Batak Toba (Sapaan Bagi Orang Batak Toba)

Ada begitu banyak sapaan kekerabatan yang biasa diucapkan oleh masyarakat Batak yang sering kita dengar, tetapi banyak juga orang yang mengklaim dirinya suku batak tetapi tidak tahu "martutur" (bertutur sapa). Kesalahan dalam sapaan ini bagi masyarakat Batak yang memahami adat dapat mengakibatkan ketersinggungan dan komunikasi yang tidak baik kepada lawan bicara sehingga sering muncul ucapan "Naso maradat do ho bah !".

Oleh sebab itu masyarakat Batak wajib memahaminya, berikut ini ada beberapa tutur sapa yang sering diucapkan semoga berguna :
  1. Ale-ale   = teman akrab, bisa saja berbeda marga
  2. Amang Naposo = anak (lk) abang/adik dari hula-hula kita
  3. Amang/ damang/ damang parsinuan =ayah, bapak, sapaan umum menghormati kaum laki-laki
  4. Amangbao = suami dari adik/ kakak (pr) (eda) suami kita
  5. Amangboru = suami kakak atau adik perempuan dari ayah
  6. Amangtua mangulaki = kakek ayah
  7. Amangtua = abang dari ayah, suami dari kakak ibu, suami dari pariban ayah yang lebih tua
  8. Amanguda = adik laki-laki dari ayah, suami dari adik ibu, suami dari pariban ayah yang lebih muda
  9. Amanta/ amanta raja = kaum laki-laki yang biasa dipanggil pada sebuah acara adat
  10. Ampara = sapaan umum buat yang se-marga, marhaha-maranggi (abang-adik) untuk yang laki-laki
  11. Anakboru = perempuan yang masih gadis atau belum menikah
  12. Anggi doli = suami dari anggiboru. Adik (lk) sudah kawin.
  13. Anggi = adik kita (lk), adik (pr) boru tulang
  14. Anggiboru = isteri adik kita yang laki-laki, istri dari adik yang satu marga
  15. Angkang boru = isteri abang satu marga
  16. Angkang doli = abang, laki-laki yang lebih tua dari kita yang sudah menikah dan satu marga sesuai tarombo / silsilah
  17. Angkangboru mangulaki = namboru ayah dari seorang perempuan
  18. Bere = semua anak (lk / pr) dari adik/kakak perempuan
  19. Bona niari = tulang dari kakek
  20. Bonaniari binsar = tulang dari ayah kakek
  21. Bonatulang = tulang dari ayah
  22. Boru diampuan = keturunan dari namboru ayah
  23. Boru = anak kandung perempuan, semua pihak keluarga dari saudara perempuan
  24. Borutubu = semua menantu (lk) / isteri dari satu ompung
  25. Dahahang (baoa/ boru) = abang kita atau isterinya
  26. Dainang = ibu, sebutan kasih sayang anak kepada ibu, digunakan juga oleh ayah kepada anak perempuannya
  27. Dakdanak = anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil
  28. Damang = ayah, bapak, sebutan kasih sayang dari anak kepada ayah, digunakan juga oleh ibu kepada anaknya sendiri
  29. Dolidoli = laki-laki yang masih lajang atau belum menikah
  30. Dongan sahuta = kekerabatan akrab karena tinggal dalam satu kampung
  31. Dongansapadan = dianggap semarga karena diikat oleh janji atau ikrar
  32. Dongantubu = abang/ adik satu marga
  33. Eda = kakak atau adik ipar antar perempuan, sapaan awal antara sesama wanita
  34. Haha = abang laki-laki
  35. Hahadoli = sebutan isteri terhadap abang (kandung) suaminya, abang dari urutan marga
  36. Hela = suami anak perempuan kita, menantu laki-laki, bisa juga sebutan untuk suami dari anak perempuan kita yang se-marga dan setarap menurut silsilah marga
  37. Hula-hula = keluarga abang/adik (lk) dari isteri
  38. Ibebere = keluarga anak (lk/pr) dari pihak perempuan
  39. Inang simatua = ibu mertua
  40. Inangbao = isteri dari adik/ abang (lk) istri kita
  41. Inangnaposo = isteri dari amangnaposo
  42. Inangtua mangulaki = nenek ayah
  43. Inangtua = isteri dari abang ayah, ada juga inangtua marpariban
  44. Inanguda = isteri dari adik ayah, ada juga inanguda marpariban
  45. Inanta/ inanta soripada = sebutan penghormatan bagi wanita sudah menikah, kaum ibu yang lebih dihormati dalam acara adat
  46. Ito, iboto = kakak atau adik perempuan satu marga, sapaan awal dari laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya, panggilan kita kepada anak perempuan dari namboru
  47. Lae = tutur sapa anak laki-laki tulang dengan kita (lk) maupun sebaliknya, tutur sapa awal perkenalan antara dua laki-laki, suami dari kakak atau adik kita sendiri (lk), anak laki-laki dari namboru kita (lk)
  48. Maen = anak-gadis dari hula-hula kita
  49. Namboru = kakak atau adik ayah kita yang sudah menikah maupun belum
  50. Nantulang = isteri dari tulang kita, mertua dari adik kita yang perempuan
  51. Nini = sebutan untuk anak dari cucu laki-laki
  52. Nono = sebutan untuk anak dari cucu perempuan
  53. Ompung boru = nenek, orang tua perempuan dari ayah kita
  54. Ompung doli = kakek, orang tua laki-laki dari ayah kita
  55. Ompungbao = kakek/nenek dari ibu kita, orangtua dari ibu kandung kita
  56. Ondok-ondok = cucu dari cucu laki-laki
  57. Pahompu = sebutan untuk semua cucu, anak - anak dari semua anak kita
  58. Pamarai = abang atau adik dari suhut utama, orang kedua
  59. Paramaan = anak (lk) dari hula-hula
  60. Pariban = semua anak perempuan dari pihak tulang kita, abang-adik karena isteri juga kakak-beradik, anak perempuan yang sudah menikah dari pariban mertua perempuan
  61. Parumaen = mantu perempuan, isteri dari anak
  62. Rorobot, tulangrorobot = tulang isteri (bukan narobot)
  63. Simatua boru = mertua perempuan, ibu dari istri
  64. Simatua doli = mertua laki-laki, ayah/ bapak dari istri
  65. Simolohon / simandokhon = iboto, kakak atau adik laki-laki
  66. Suhut = pemilik hajatan kelompok orang yang membuat acara adat
  67. Tulang = abang atau adik dari ibu, mertua dari adik kita yang laki-laki
  68. Tulang naposo = paraman yang sudah menikah
  69. Tulang Ni Hela = tulang dari pengantin laki-laki
  70. Tunggane boru, inang siadopan, pardijabunami, = isteri
  71. Tunggane doli, amang siadopan, amanta jabunami = suami
  72. Tunggane = semua abang dan adik (lk) dari isteri kita, semua anak laki-laki dari tulang

Disadur Dari : Partuturan Ni Halak Batak Toba

Perkawinan Yang Dilarang Dalam Adat Batak Toba

Perkawinan bagi masyarakat Batak khususnya orang Toba adalah hal yang wajib untuk dilaksanakan, dengan menjalankan sejumlah ritual perkawinan adat Batak. Meski memiliki keunikan dan ragam keistimewaan yang terkandung dalam acara tersebut, upacara perkawinan adat Batak Toba juga terkenal sangat “merepotkan” jika kita bandingkan dengan upacara perkawinan di daerah lainnya di Indonesia.

Dalam perkawaninan adat Batak Toba juga ada aturan-aturan tertentu yang harus ditaati, dan hukumannya sangat tegas yang dianut oleh orang Batak sejak dulu kala. Dibeberapa daerah dan aturan yang berlaku yang dilaksankan oleh penatua masing-masing daerah berbeda-beda, ada yang dibakar hidup-hidup, dipasung, dan buang atau diusi dari kampung serta dicoret dari tatanan silsilah keluarga. Meskipun era saat ini beberapa aturan yang diberlakukan sejak dahulu kala, sebagian orang Batak kini sudah ada melanggarnya.

Berikut ini ada 5 Larangan dalam Perkawinan Adat Batak Toba : 

1. Namarpandan

Namarpadan/ padan atau ikrar janji yang sudah ditetapkan oleh marga-marga tertentu, dimana antara laki-laki dan perempuan tidak bisa saling menikah yang padan marga. Misalnya marga-marga berikut ini:
Hutabarat dan Silaban Sitio
Manullang dan Panjaitan
Sinambela dan Panjaitan
Sibuea dan Panjaitan
Sitorus dan Hutajulu (termasuk Hutahaean, Aruan)
Sitorus Pane dan Nababan
Naibaho dan Lumbantoruan
Silalahi dan Tampubolon
Sihotang dan Toga Marbun (termasuk Lumbanbatu, Lumbangaol, Banjarnahor)
Manalu dan Banjarnahor
Simanungkalit dan Banjarnahor
Simamora Debataraja dan Manurung
Simamora Debataraja dan Lumbangaol
Nainggolan dan Siregar
Tampubolon dan Sitompul
Pangaribuan dan Hutapea
Purba dan Lumbanbatu
Pasaribu dan Damanik
Sinaga Bonor Suhutnihuta dan Situmorang Suhutnihuta
Sinaga Bonor Suhutnihuta dan Pandeangan Suhutnihuta 

2. Namarito

Namarito (ito), atau bersaudara laki-laki dan perempuan khusunya oleh marga yang dinyatakan sama sangat dilarang untuk saling menikahi. Umpamanya seperti parsadaan Parna (kumpulan Parna), sebanyak 66 marga yang terdapat dalam persatuan PARNA. Masih ingat dengan legenda Batak “Tungkot Tunggal Panaluan“? Ya, disana diceritakan tentang pantangan bagi orangtua yang memiliki anak “Linduak” kembar laki-laki dan perempuan. Anak “Linduak” adalah aib bagi orang Batak, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kedua anak kembar tersebut dipisahkan dan dirahasiakan tentang kebeadaan mereka, agar tidak terjadi perkawinan saudara kandung sendiri.

3. Dua Punggu Saparihotan

Dua Punggu Saparihotan artinya adalah tidak diperkenankan melangsungkan perkawinan antara saudara abang atau adik laki-laki marga A dengan saudara kakak atau adik perempuan istri dari marga A tersebut. Artinya kakak beradik laki-laki memiliki istri yang ber-kakak/ adik kandung, atau 2 orang kakak beradik kandung memiliki mertua yang sama.

4. Pariban Na So Boi Olion

Ternyata ada Pariban yang tidak bisa saling menikah, siapa dia sebenarnya? Bagi orang Batak aturan/ ruhut adat Batak ada dua jenis untuk kategori Pariban Na So Boi Olion, yang pertama adalah Pariban kandung hanya dibenarkan “Jadian” atau menikah dengan satu Pariban saja. Misalnya 2 orang laki-laki bersaudara kandung memiliki 5 orang perempuan Pariban kandung, yang dibenarkan untuk dinikahi adalah hanya salah satu dari mereka, tidak bisa keduanya menikahi pariban-paribannya. Yang kedua adalah Pariban kandung/ atau tidak yang berasal dari marga anak perempuan dari marga dari ibu dari ibu kandung kita sendiri. Jika ibu yang melahirkan ibu kita ber marga A, perempuan bermarga A baik keluarga dekat atau tidak, tidak diperbolehkan saling menikah.

5. Marboru Namboru/ Nioli Anak Ni Tulang

Larangan berikutnya adalah jika laki-laki menikahi boru (anak perempuan ) dari Namboru kandung dan sebaliknya, jika seorang perempuan tidak bisa menikahi anak laki-laki dari Tulang kandungnya.

Disadur Dari : Perkawinan Yang Dilarang Dalam Adat Batak Toba