Translate

BBM

BBM
Tampilkan postingan dengan label Batak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Batak. Tampilkan semua postingan

Jenis Alat Musik Batak

Ogung
Ogung merupakan alat musik sekaligus alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat batak. Ogung itu sendiri berbentuk gong dengan ukuran yang bervariasi. Ogung adalah salah satu bagian daripada Gondang Sabangunan (terdiri dari Taganing, Ogung, Sarune dan Hesek), yang dipakai untuk upacara adat seperti upacara meninggal orang tua yang sudah punya cicit, menggali tulang belulang orang tua untuk dipindahkan ke bangunan yang telah disediakan, bahkan pada upacara adat perkawinan.


Taganing
Taganing adalah salah satu alat musik Batak Toba, yang terdiri lima buah gendang yang berfungsi sebagai pembawa melodi dan juga sebagai ritem variable dalam beberapa lagu.

Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok membranophone, dimainkan dengan cara dipukul membrannya dengan menggunakan palupalu (stik).

Taganing adalah drum set melodis (drum-chime), yaitu terdiri dari lima buahgendang yang gantungkan dalam sebuah rak. Bentuknya sama dengan gordang, hanyaukurannya bermacam-macam. Yang paling besar adalah gendang paling kanan, dan semakin ke kiri ukurannya semakin kecil. Nadanya juga demikian, semakin ke kiri semakin tinggi nadanya. Taganing ini dimainkan oleh satu atau 2 orang dengan menggunakan dua buah stik. Dibanding dengan gordang yang relatif konstan, maka taganing adalah melodis.

Masuk dalam jenis alat musik membranphone yang berebentuk tabung, yang merupakan alat pukul atau tabuh. Seperangkat (set) Taganing terdiri 5 buah. Didalam sebuah permainan, posisi Taganing sangat penting. Selain tabuhan Taganing yang berpadu dengan melodi Serune, juga berfungsi sebagai dirigen yang memberikan aba-aba, dan memberikan pengaruh semangat pada semua musisi yang terlibat.


Sulim
Sulim (transverse flute) adalah salah satu alat musik Batak Toba, yaitu alat musik yang terbuat dari bambu, memiliki enam lobang nada dan satu lubang tiupan. Dimainkan dengan cara meniup dari samping (slide blow flute) yang dilakukan dengan meletakkan bibir secara horizontal pada pinggir lobang tiup. Instrument ini biasanya memainkan lagu-lagu yang bersifat melankolis ataupun lagu-lagu sedih. Klasifikasi instrument ini termasuk dalam kelompok aerophone.


Gordang
Gordang (single headed drum) adalah salah satu alat musik Batak Toba, yaitu satu buah gendang yang lebih besar dari taganing yang berperan sebagai pembawa ritem konstan mau pun ritem variable.

Instrumen ni sering disebut sebagai bass dari ensambel gordang sabagunan.


Hesek
Hesek adalah salah satu alat musik Batak Toba, yang instrumen pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat dari pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong.
Instrumen ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai dengan irama dari suatu lagu.
Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok idiophone.


Sordam
Sordam (long flute) adalah salah satu alat musik Batak Toba yang terbuat dari bambu, yang dimainkan dengan cara meniup dari ujungnya (up blown flute) dengan meletakkan bibir pada ujung bambu secara diagonal.
Sordam memiliki enam lubang nada, yakni : di bagian atas dan satu di bagian bawah, sedangkan lubang tiupnya merupakan ujung dari bambu tersebut.

Sarune
Sarune adalah salah satu alat musik (tiup) Batak Toba, dan masih satu bangsa dengan Serunai.
Jenis-jenis Sarune

1.    Sarune etek (shawn) adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed tunggal (single reed).
2.    Sarune bolon (shawm) adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed ganda (double reed).
Klasifikasi ini termasuk dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada (empat di bagian atas, satu di bagian bawah), yang dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa (circular breathing).


Garantung
Garantung (dibaca garattung) adalah salah satu alat musik Batak Toba, Sumatera Utara yang merupakan pembawa melodi yang terbuat dari kayu dan memiliki lima bilah nada.
Klasifikasi instrument ini termasuk ke dalam kelompok xylophone.
Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem variable pada lagu-lagu tertentu, dimainkan dengan cara mamalu (memukul 5 bilah nada).

Garantung terdiri dari 7 wilahan yang digantungkan di atas sebuah kotak yang sekaligus sebagai resonatornya. Alat musik ini dimainkan dengan menggunakan dua buah stik untuk tangan kiri dan tangankanan. Sementara tangan kiri berfungsi juga sebagai pembawa melodi dan pembawa ritme, yaitu tangan kiri memukul bagian tangkai garantung dan wilahan sekaligus dalam memainkan sebuah lagu.


Sagasaga
Sagasaga (jew’s harp) adalah salah satu alat musik Batak Toba yang terbuat dari bambu yang dimainkan dengan cara menggetarkan lidah dari instrumen tersebut dan rongga mulut yang berperan sebagai resonator.
Klasifikasi instrumen ini termasuk dalam kelompok idiophone.

Talatoit
Talatoit (transverse flute), yaitu alat musik yang terbuat dari bambu, sering disebut juga dengan Salohat atau Tulila, yang dimainkan dengan cara meniup dari samping.
Mempunyai lubang penjarian yakni dua di sisi kiri dan dua disisi kanan, sedangkan lubang tiup berada di tengah.
Instrument ini biasanya memainkan lagu-lagu yang bersifat melodis dan juga bersifat ritmik.
Klasifikasi instrument ini termasuk dalam kelompok aerophone, atau kelompok alat musik tiup.

Jenggong
Jenggong (jew’s harp) adalah salah satu alat musik Batak Toba yang terbuat dari logam, mempunyai konsep yang sama dengan saga-saga.

Odap
Odap (double headed drum) adalah salah alat musik Batak Toba, yakni gendang dua sisi yang berperan sebagai pembawa ritem variable.
Instrument ini dimainkan untuk lagu-lagu tertentu dalam gondang sabangunan dan sering digunakan ketika pawai.
Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok membranophone.

Mengmung
Mengmung (bamboo idiochordo) adalah salah satu alat musik Batak Toba yang merupakan pembawa melodi konstan yang memiliki tiga senar.
Senarnya terbuat dari kulit bambu tersebut.
Klasifikasi instrument ini bisa dimasukkan ke dalam kelompok idiochordophone.

Tanggetang
Tanggetang adalah salah satu alat musik Batak Toba, yang senarnya terbuat dari rotan dan peti kayu sebagai resonator.
Permainan instrumen ini bersifat ritmik atau mirip dengan gaya permainan gong (ogung) mau pun gaya permainan mengmung.
Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok chordophone.

Hasapi
Hasapi adalah salah alat musik Batak Toba yang dikelompokkan ke alat musik dawai atau senar, dalam bahasa Indonesia sering disebut Kecapi batak.
Hasapi terdiri dari :

1.    Hasapi ende (pluked lute dua senar) adalah instrumen pembawa melodi dan merupakan instrumen yang dianggap paling utama dalam ensambel gondang hasapi.
2.    Hasapi doal (pluked flude dua senar), instrumen ini sama dengan hasapi ende namun dalam permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem konstan. Ukuran instrumen hasapi doal lebih besar sedikit dari hasapi ende.

Mandera Harajaon Batak (Bendera Kerajaan Batak)


Bendera Kerajaan Batak terdiri dari dua warna, putih dan merah. Warna putih yakni pada: bendera bagian atas, dan warna merah meliputi 80% ukuran bendera, dimana pada bagian merah terletak symbol berwarna putih yakni lambang bulan di kanan dan lambang matahari di kiri, serta Piso Solam Debata di tengah.


Makna warna dan lambang:
1. Putih, “na puti so haliapan, na puti so hapupuran” artinya putih tidak bernoda, putih kesucian, kesalehan dan kealiman.

2. Merah sebagai symbol Banua Tonga, perlambang dunia, tanah, air, kerajaan, masyarakat Batak.

3. Gambar bulan dan matahari adalah lambang Keturunan Si Raja Batak.Bulan yakni keturunan Guru Tatea Bulan (tetayang bulan/bulan purnama/bulan na gok) dan Matahari (dengan delapan garis pancaran sinar ke delapan arah mata angin), yakni lambang keturunan Raja Isumbaon. Marga-marga Batak berasal dari garis Keturunan Guru Tatea Bulan (anak pertama si Raja Batak) dan Raja isumbaon, anak kedua.

4. Piso Solam Debata (Pisau Suci Dewata) atau Gaja Dompak (Bergagang Kepala Gajah), dan mata pisau berbentuk saing gaja (gading gajah) sebagai symbol kewibawaan, kekuatan dan keperkasaan dalam keadilan dan kebenaran.

Upacara Adat Batak Untuk Orang Meninggal

Kematian merupakan peristiwa alami yang harus dialami oleh semua makhluk hidup termasuk manusia. Perbedaannya antara yang satu dengan yang lain adalah ada yang berumur pendek, ada yang berumur panjang. Demikian pula sejarah kehidupan manusia, ada yang berumur ratusan tahun ada pula yang meninggal sewaktu di dalam kandungan, ada yang begitu lahir ke dunia ini meninggal, ada yang didalam usia sekolah, remaja, dewasa, baru berumah tangga, dan seterusnya. Bagi orang batak, peristiwa meninggal, dibagi dalam dua bangian besar yaitu: Peristiwa seseorang yang meninggal sebagai Duka; dan peristiwa meninggal yang dianggap sebagai Suka Cita.

Kriteria kedua perstiwa ini masih dibagi lagi dalam beberapa status yaitu:
1. Sebagai Duka (Tilaha); secara umum, semua orang yang meninggal di kala orang tuanya masih hidup, disebut tilaha. Orang tuanya disebut tilahaon. Ada tilahaon dimana anaknya yang meninggal belum menikah. Ada yang disebut Tilahaon Matua. Yaitu seseorang yang kehilangan anak (meninggal), dimana anaknya yang meninggal tersebut sudah berumah tangga, atau sudah punya cucu. Orang tua tersebut disebut ”Tilahaon Matua”

2. Suka Cita; Seseorang yang meninggal dikala anaknya sudah menikah semua dan sudah selesai didalam adat, hingga punya cucu dan cicit, dan tidak ada diantara keturunannya meninggal mendahului dia.

Menurut sisi pandang adat batak, ada tingkatan status adat kematian.
a. Tilaha, kematian yang tidak diingini orang batak tingkat statusnya, mati bayi, mati anak muda, mati muda, mati sudah berumah tangga tapi anaknya masih kecil (mate ponggol)
b. Meninggal pada saat anak-anaknya belum semuanya berumah tangga, terutama anak laki-laki disebut “Sarimatua”
c. Meninggal pada saat semua anaknya laki dan perempuan sudah menikah dan sudah selesai dalam adat disebut “Saur Matur”
d. Meninggal setelah punya cucu dari semua anaknya, bahkan sudah punya cicit, dan tidak ada diantara keturunanya meninggal mendahului dia, serta didukung perekonomian anaknya yang sudah mandiri, disebut; Saur Matua Mauli Bulung

Adat Kematian Menurut Status
1. Tilaha (umur 0 th – dewasa belum menikah) kematian seperti ini tidak begitu ketat tuntutan adatnya. Yang berduka adalah keluarga dan tulangnya yang meninggal. Dalam pemberian saput, tulangnya merobek kain sarung sebagai saput. Dahulu, perlakuan ini dilakukan oleh tulangnya kepada berenya yang meninggal sebelum berumah tangga.

2. Tompas Tataring/Mate Ponggol., sudah berumah tangga, sudah punya anak kecil. Yang berduka adalah orang tuanya, tulangnya, anak istrinya dan mertuanya/hula-hula. Adatnya sangat sederhana, Apabila yang meninggal adalah perempuan, maka yang memberikan saput adalah hula-hula (saudara laki-laki dari yang meninggal), sedangkan yang memberikan tujung kepada suaminya yang meninggal adalah tulangnya. Apabila yang meninggal adalah laki-laki, maka yang memberikan saput kepada yang meninggal adalah tulangnya, sedangkan yang memberi tujung adalah saudara laki-laki dari istri yang meninggal. Pelaksanaan adatnya tidak begitu ketat terutama dalam pemberian piso-piso/lomba parjambaran diberikan sebagai pemberitahuan resmi kepada hula-hula/tulang bahwa bilang-bilangan mereka sudah berkurang. Diberikan pada waktu buka tujung.

3. Sari Matua. Orang yang meninggal pada saat anaknya sudah dewasa dan sebahagian sudah menikah, atau sudah semua menikah tetapi belum selesai dalam adat. Adat pada situasi seperti ini sangat rumit apabila hula-hula anaknya yang belum selesai dalam adat menuntut adat putrinya. Karena pada perinsipnya adat kematian merupakan adat terakhir dalam sejarah kehidupan seseorang dan adat dari anaknya, kepada hula-hula parumaennya, merupakan tanggung jawab dari orangtuanya yang sudah meninggal.
Pada pelaksanaan adat seperti inilah seorang raja adat harus hati-hati mengajukan konsep ulaon adat kematian. Pada saat seperti ini pembicaraan biasanya agak alot, terutama apabila konsep adat yang diutarakan adat na gok karena melihat semua anaknya sudah berkeluarga. Bagi salah satu orang tua yang hidup, masih dikenakan Tujung.

Ada sebagian orang yang meningkatkan adat yang meninggal seperti ini dengan adat nagok, dengan ulos kepada yang menduda atau menjanda “Sappe Tua”.
Hati-hati peningkatan adat seperti ini. Terutama anaknya yang belun menikah adalah laki-laki. Artinya, yang diberi ulos sappe tua, tidak boleh lagi menerima dan member ulos passamot. Karena dianggab sudah selesai hak dan kewajiban adatnya. Jadi kita sebagai generasi muda orang Batak agar selektip di dalam perlakuan adat.

Ironisnya usulan seperti ini, datangnya dari orang yang sudah lanjut usia dengan alasan supaya “jaga ulaon I”(adatnya supaya bedrmakna), bukas soal jagar. Tetapi rule, hukumnya atau kepatutannya. Sebagai hula-hula, kalau ternyata anaknya yang meninggal, kawin sama boru tulangnya, yang memberikan “ulos Sappe Tua” tadi. Pantas kah tulangnya tidak memberi ulos passamot? Atau sebaliknya, pantas kah tulangnya sebagai hula-hula memberikan ulos passamot? Jadi Raja adat dan hula-hula, hendaknya memikirkan anaknya yang meninggal. Kalau raja adat, dan hula-hula, tidak atau tidak terpikirkan sampai kesitu, maka jadilah Raja Adat “si mata hepengon”, Hula-hula oleh berenya, menjadi “tulang sattabi hita on” Maka “moral” raja dan hula-hula menjadi tanda Tanya.

4. Saur Matua. Orang yang meninggal pada situasi anak-anaknya sudah menikah semua dan sudah selesai dalam adat. Dan sudah punya cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan. Pelaksanaan adat dalam situasi yang demikian sudah agak gampang, hanya kesulitannya adalah dibidang dana/biaya. Kalau dahulu, biaya semacam ini merupakan sindikasi dari anak-anaknya serta keponakan-keponakan yang meninggal. Sehingga dahulu adat seperti ini jarang tidak terlaksana, karena adat semacam ini merupakan kebanggaan satu ompung.

Demikian juga pihak tulang dari yang meninggal, akan menjadi suka cita, karena peran tulang dalam adat tersebut sangat penting dan berhak atas buka “HOMBUNG” dalam adat Toba Holbung, Di Humbang Pada umumnya dan Dairi disebut “LOMBA” yang menurut aslinya sesuai dengan angka 48, 24, 12.yang paling kecil nilainya adalah 6. Angka ini dikaitkan dengan filosofi nama pohon, yang paling tinggi adalah “SARUMARNAEK”, yang kedua adalah “SANDUDUK” yang lain…………(penulis lupa). Bagi yang menjanda atau menduda, tidak ada lagi ulos tujung, tetapi ulos sampe tua.

5. Mauli Bulung. Seseorang yang meninggal dikala semua anak sudah menikah dan selesai dalam adat dan bahkan sudah punya cicit baik dari anak laki-laki, maupun dari anak perempuan, dan semua anaknya dan keturunannya mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup (memiliki hasangapon, hagabeon hamoraon) Kematian semacam ini juga merupakan dambaan seseorang orang tua maupun anak-anaknya dan keluarga besar se-ompung, maupun pihak hula-hula dan tulang.

Pada adat kematian yang saurmatua dan mauli bulung, keluarga akan memberikan jambar “LOMBA” juga dikaitkan dengan angka 48, 24, 12 dan tidak ada lagi “Ulos Tujung” tetapi “Sampe Tua” Dalam situasi orang meninggal seperti ini, kaitan lomba dengan angka agak ketat
Catatan:

1. Istilah “LOMBA” umumnya di daerah Humbang Hasundutan, sedangkan di lain daerah disebut “HOMBUNG”

2. Aturan pembagian besarnya “ lomba“ kepada hula-hula dan tulang, kalau laki yang meninggal, tulang mendapat satu bagian, hula-hula dapat setengah, kalau perempuan yang meninggal hula-hula mendapatkan satu sedangkan tulang dapat setengah

3. Seorang yang meninggal, walau pun sudah punya cucu, tetapi orang tuanya masih hidup (Tilahaon Matua), Kesedihan orang tua yang meninggal harus di perhatikan. Bagi orang lain terkadang baru sari matua sudah dibunyikan gondang/alat musik dan manortor untuk menyambut kedatangan hula-hula dalam acara adat. Dalam hal pengertian pemberian “sappe tua” perlu diperhatikan kata-kata yang berbunyi “nilangka to jolo, tinailihon tu pudi” pemberian ulos “sappe tua” sering berdasarkan atas nilai materi yang dimiliki keluarga.

Sejalan dengan itu atas permintaan keluarga dengan alasan agar sangap, sebab yang meninggal orang terpandang, kaya, tokoh. Pada hal masih ada dua atau satu orang anaknya yang belum menikah, maka artinya, apabila anak tersebut menikah, si duda atau si janda tidak akan bisa menerima ulos “pansamot” dan inilah yang juga perlu dipikirkan oleh hula-hula dan tulang. Kalau kemudian sianak manunduti mengambil boru tulang dari mamaknya atau boru tulang dari ompungnya. Yang menjadi pertanyaan apakah mereka tidak memberikan ulos “pansamot” kepada ibotonya? Kecuali anaknya sudah sewajarnya berumahtangga dilihat dari sisi umur maupun kemapanan ekonomi, mungkin pertimbangannya, kalau selamanya tidak akan berumahtangga, maka jangan lah menjadi penghalang bagi adat pasangaphon hula-hula yang terakhir dari orang tuanya yang meninggal.

Tahapan Ke Arah Pelaksanaan Adat.
1. Keluarga berkumpul untuk mencari kesepakatan (adat dan dana) tentang konsep adat yang akan dilaksanakan.

2. Setelah ada kesepakatan, maka konsep adat yang akan dilaksanakan, disampaikan kepada tetua adat untuk mendapatkan pengarahan sesuai konsep yang sudah disepakati. Di sinilah fungsi raja adat/tetua adat dalam menyikapi konsep adat yang diterima, apabila ada kekurangan dan kelebihan tentunya tetua adat/ raja adat mempunyai fungsi untuk menyempurnakan. Setelah tidak ada masalah, undangan diberikan kepada pihak tulang dan hula-hula serta kepada tetaua adat. Apabila sudah saur matua dan mauli bulung, undangan disampikan juga kepada hula-hula, buna tulang, hula-hula namarhaha-anggi dan hula-hula anak manjae serta tulang rorobot/narobot.

3. Setelah hula hula hadir semua, antara hasuhuton dengan pihak hula-hula duduk berhadapan dan hasuhuton terlebih dahulu mengecek kehadiran semua undangan terutama hula-hula dan tulang serta tulang rorobot.

4. Kata sambutan dari hasuhuton (hata huhuasi) atas kehadiran semua undangan terutama atas kehadiran horong ni hula-hula. Pada akhir huhuasi, diberitahukan maksud dan tujuan undangan. Dan minta nasehat terhadap rencana yang diutarakan

5. Kalau sudah ada kesepakatan antara hasuhuton, horong ni hula-hula serta dongan sahuta, tentang konsep adat yang akan dilaksanakan terhadap yang meninggal, maka pada hari yang sudah ditentukan dalam pelaksanaan adat, tinggal mengikuti konsep yang sudah disepakati tadi. Parrapoton.

Bagi sebagian daerah, pembicaraan konsep adat dengan hula-hula, sudah dianggap parrapoton. Akan tetapi disebagian daerah, parrapoton diadakan pada saat pembukaan pelaksanaan adat, dipimpin oleh seorang raja adat yang sudah punya cucu.

Raja adat tersebut akan memperkenalkan diri di depan halayak ramai dan keluarga yang kemalangan; “Au na di patua di adat di ……….(huta ….atau di parserahan…….) on, na margoar ……… marga ….., goar maroppuni, Oppu ……….marga ……..Manguluhon parrapoton di partua ni amanta/inanta naung jumolo monding on dst.”

Di perantauan, yang memimpin parrapoton belum tentu raja adat Huta dari mana keluarga kemalangan berasal. Tetapi raja adat dari hula-hula atau tulang. Hula-hula apabila yang meninggal adalah ibu, sedangkan tulang, apabila yang meninggal adalah bapak.

Pada saat parrapoton; Hasuhuton, menyediakan piring berisi beras serta uang beberapa lembar sesuai kehadiran hula-hula

1. Hula-hula atau tulang bertanya kepada hasuhuton di depan hkalayak tentang keturunan yang meninggal, apakah sudah sanggup dan pantas melakukan adat sesuai dengan konsep yang mereka terima atau masih ada yang mengganjal.

2. Kemudian menanyakan kepada khalayak tentang Kepatutan dan kepantasan adat yang akan dilaksanakan sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.

3. Menanyakan kepada khalayak, semasa hidupnya almarhum/almarhumah, apakah ada persoalan-persoalan tertulis atau lisan/hutang piutang dan lain-lain yang belum selesai. Setelah tidak ada komplain dari khalayak, terutama pihak hula-hula maka, konsep adat oleh raja adat dalam hal ini dari pihak hula-hula, dapat dilaksanakan dengan mengetuk piring tiga kali yang berisi beras dan uang. Apabila terdapat persoalan menurut kebiasaan setempat dan persoalan surat menyurat yang belum tuntas, maka hula-hula memohon kepada hasuhuton untuk menyelesaikannya, atau menyesuaikan adat sesuai dengan kebiasaan setempat.

Setelah diketok tiga kali dengan logam, maka dibagikan lah uang yang diatas piring tadi kepada: hula-hula bona tulang, hula-hula namarhaha anggi, hula-hula anak majae, tulang rorobot. Yang terakhir kepada tulang dan hula-hula. Beras yang diatas piring, di taburkan ke kepalanya semua keturunan yang meninggal, secara berurutan dan penutup, ditaburkan tiga kali secara sporadis. Maka pelaksanaan adat sah untuk dilaksanakan.

Adat saur matua dan mauli bulung seperti ini, sudah dikatakan “tu dolok na timbo, di atas ni batu napir na martindi-tindi, di bona ni hariara, na marurat tu toru marbulung tu ginjang, mardakka tu lambung” Dan perlakuan adat disini, hasuhuton menebar uang kepada halayak, terutama kepada hula-hula (Mangalindakhon na gok) Ulaon na gok di namonding.

Telah kita bahas mengenai tingkat adat dalam kematian, Toppas Tataring dan Sari Matua, dapat dilaksanakan adat na Gok. Tetapi perlakuannya tidak seperti adat di Saur Matua atau Mauli Bulung. Adat Selatan atau Sipirok hampir ada kesamaannya dengan perlakuan adat Na Gok di Hubbang, utamanya Pakkat Sekitar dan Parlilitan.

Hal ini ditandai dengan pemberian Lomba kepada hula-hula atau tulang. Biasanya, kalau yang ditinggalkan yang meninggal anak laki-laki. Kata orang-orang tua dulu, “dao ma anak na nidondonan ni Lomba” karena adat yang meninggal belum selesai kepada hula-hula atau tulang, maka hal itu tetap menjadi hutang adat bagi si anak yang di tinggal.

Jika kemudian si anak menjadi seorang yang berada, dan dia memiliki “Hasangapon, Hagabeon, dan Hamoraon” ingin berbuat yang baik kepada orang tuanya, atau pesta adat yang lain, maka tidak ada lagi penghalang. Hula-hula atau tulang tidak menuntut hutang adat dari orang tuanya yang sudah lebih dulu meninggal.

Bagi kepercayaan orang tua dulu, seorang anak yang di dondoni lomba akan mendapat masalah dalam kehidupannya(cekak) Soal perlakuan adatnya, sudah sama dengan apa yang biasa kita lihat setiap adat kematian.

Di dalam acara sari matua diberengi dengan adanya tilahaon matua, walaupun adat na gok, di dalam acara adatnya jangan sekali-kali padenggal tangan dan membunyikan musik untuk menyambut kedatangan hula-hula.

Pada umumnya, orang batak agak berpikir tiga kali untuk melaksanakan ulaon yang besar dalam adat kematian, yang mana orang tua yang meninggal masih hidup. Karena apabila orang tua yang meninggal kelak, maka ulaon adat kematian terhadap orang tua yang tilahaon matua tadi, akan jauh lebih besar. Karena aturan perlakuan adat sihabatakon dalam kontek tilahaon matua, adalah suatu hal yang memalukan bagi keluarga kalau lebih besar ulaon kematian anak dari pada adat kematian kemudian yang tilahaon matua.

Mengenati pembicaraan adat dalam adat kematian, tidak seperti pembicaraan di ulao adat perkawinan. Pembicaraan dialog (two way communication) hanya terjadi pada “Tonggo raja”. Dialog di sini hanyalah untuk menyamakan persepsi antara hula-hula dengan hasuhuton, tentang konsep adat yang akan di laksanakan. Selanjutnya yang terjadi adalah monolog (one way communication), pada “hata huhuasi, hata nauli sian namarholong ni roha, hata nauli sian horong ni hula-hula, dohot hata pangappuon.(br14).

dikutip dari: http://www.pakkatnews.com/pemahaman-tata-aturan-adat-kematian.html

Malim (Agama batak tempo doeloe)

Parmalim

Istilah Parmalim merujuk kepada penganut agama Malim. Agama Malim yang dalam bahasa Batak disebut Ugamo Malim adalah bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru Somalaing Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.

Agama ini tidak mengenal Surga, malaikat,setan atau sejenisnya,sepeti agama umumnya, selain makhluk Dewa Mulajadi Na Bolon dan Arwah-arwah leluhur, tidak ada ajaran reward atau punisnhment atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat atau dikutuk menjadi miskin dan tidak punya turunan. Tujuan upacara agama ini memohon berkat Sumangot dari Dewa Debata Mula jadi Nabolon, dari Arwah-arwah leluhur (dari yang Ghaib) , juga dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang di hormati, seperti Kaum Hula-hula (dari sesamanya). Agama ini lebih condong ke paham Animisme. Agama ini bersifat tertutup hanya untuk suku Batak, karena upacara ritualnya memakai bahasa Batak, dan setiap orang harus punya marga, juga Dewa Mulajadi Nabolon dan Arwah-arwahnya harus arwahnya orang-orang dari Suku Batak, tidak beda dengan agama-agama suku-suku animisme dibelahan bumi lainnya, sifatnya tidak universal. Tidak bisa dipakai untuk bangsa2 lain.

Dewa tertinggi dalam kepercayaan Malim adalah “Debata Mulajadi Na Bolon” sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh “Umat Ugamo Malim” (“Parmalim”). Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatra Utara. Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalim namun kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kab. Toba Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada (yaitu ‘[bulan] Pertama’) serta Si Pahalima (yaitu ‘[bulan] Kelima) yang secara meriah dirayakan di kompleks Parmalim di Huta Tinggi.

Pimpinan Parmalim saat ini Raja Marnangkok Naipospos.

Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).

Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.

Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah “Debata”, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia.

Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa “Ompu Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi “Mula Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula Jadi Nabolon”. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (jamak) sehingga menjadi “Debata Mula Jadi Nabolon”.

Parmalim sebenarnya adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas pribadi itu lebih populer dari “Ugamo Malim” sebagai identitas lembaganya Berjuang bagi Parmalim bukan hal baru, karena leluhur pendahulunya dari awal dan akhir hidupnya selalu dalam perjuangan. Perjuangan dimulai sejak Raja Sisingamangaraja menyatakan “tolak” kolonialisme Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya.

Raja Monang Naipospos adalah Pengurus Pusat Ugamo Malim, sebuah agama kepercayaan yang lahir dari kebudayaan Batak. Agama ini merupakan peninggalan Raja Batak Sisingamangaraja. Kini pusat agama Parmalim terbesar berada di Desa Hutatinggi, 4 kilometer dari kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Orang lebih mengenalnya sebagai Parmalim Hutatinggi. Di desa ini ada rumah ibadah orang Parmalim yang disebut Bale Pasogit.

Mereka beribadah setiap hari sabtu dan memiliki dua hari peringatan besar setiap tahunnya yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada ini dilakukan saat masuk tahun baru Batak yang dimulai setiap bulan Maret. Dan Sipaha Lima yang dilakukan saat bulan Purnama yang dilakukan antara bulan juni-juli.
Dalam upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya mengunakan sorban seperti layaknya orang muslim, sarung dan Ulos (selendang batak). Sementara yang wanitanya bersarung dan mengonde rambut mereka. Semua acara Parmalin dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok Naipospos. Kakek Raja Marnokkok adalah Raja Mulia Naipospos yang menjadi pembantu utama Sisingamangaraja XI. Kini penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang termasuk yang bukan orang batak. Mereka tersebar di 39 tempat di Indonesia termasuk di Singkil Nanggroe Aceh Darussalam.

Kitab-Kitab Dalam Agama Parmalim

Kitab Batara Guru
Kitab ini berisi seluruh rahasia Allah tentang terjadinya bumi dan manusia beserta kodrat kehidupan dan kebijakan manusia yang tercermin pada Batara Guru yang mempunyai lambang hitam.

Kitab Debata Sorisohaliapan
Kitab ini berisi tatanan hidup manusia, mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak dapat dilakukan sesuai dengan titah dan peraturan sesuai dengan budaya masing-masing.

Kitab Mangala Bulan
Kitab Mangala Bulan menerangkan tentang cerminan kekuatan Allah. Kitab ini menceritakan kekuatan manusia dalam menjalani hidup termasuk bumi dan seni bela diri batak dalam menjalani hidup sehari-hari. Kitab ini terbagi atas dua jenis

Debata Asi-Asi
Kitab ini menerangkan tentang inti dari Kitab Batara Guru, Debata Sorisohaliapan, Mangala Bulan (Debata Natolu) dan induk dari segala kitab. Kitab ini juga berisi tentang ilmu pengetahuan manusia, karena manusia adalah titisan Debata Asi-asi.

Kitab Boru Debata
Kitab ini berisikan tentang kehidupan wanita hingga memperoleh anak termasuk para putri titisan Allah juga mengenai para ratu air.

Kitab Pengobatan
Kitab ini menerangkan tentang bagaimana manusia agar selalu sehat, bagi orang sakit menjadi sembuh, bagaimana agar dekat dengan Tuhan dan bagaimana cara melaksanakan budaya ritual agar manusia itu sehat. Dalam kehidupan orang batak segala sesuatunya termasuk mengenai pengobatan selalu seiring dengan budaya ritual dan barang pusaka peninggalan leluhur jaman dahulu untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada sang pencipta agar manusia tetap sehat dan jauh dari mara bahaya. Kitab ini dibagi empat bagian.

Falsafah Batak
Kitab ini berisi tentang adat istiadat, budaya, hukum, aksara seni tari, seni musik terutama bidang pemerintahan kerajaan sosial ekonomi.

Kitab Pane Nabolon
Sejak zaman dahulu orang batak sudah mengetahui perjalanan bulan dan bintang setiap harinya. Parhalaan Batak adalah cerminan pane nabolon hukum alam terhadap setiap manusia. Apa yang akan terjadi besok, kelak menjadi apa anak yang baru lahirkan , bagaimana nasib seseorang, barang hilang serta langkah yang baik bagi orang Batak sudah merupakan kebiasaan pada zaman dahulu kala demikian halnya dalam mengadakan pesta ritual segalanya lebih dahulu membuka buku parhalaan (Buku Perbintangan). Kitab ini di bagi dua bagian.

Kitab Raja Uhum Manisia

Kitab ini adalah kitab yang berisi penghakiman.

Tugas Boru Parlopes dan Sihunti Ampang

Biasanya dalam setiap ulaon unjuk (pesta pernikahan Batak), selalu ada orang yang dihunjuk menjadi Boru Parlopes dan Sihunti Ampang.

Siapakah yang menjadi boru Parlopes dan Sihunti Ampang ?
Boru Parlopes dan Sihunti Ampang biasanya adalah pasangan suami- istri dimana si perempuan adalah boru tubu (putri kandung atau saudari perempuan dari Hasuhuton Paranak/yang menikahkan putranya. Contoh: saat ini saya dikaruniakan 1 orang putra (Hitado Managam) dan adiknya 1 orang putri (Namora Gabe). Jika nanti Hitado Managam menikah maka Boru Parlopes dan Sihunti Ampang adalah saudara perempuan saya yakni Amangboru dan Namborunya si Agam (Lae dan Ito kel. Manullang, Gultom, Siwu, Silaban, Tampubolon maupun Pohan – mardos ni roha ma nasida, namun umumnya yang paling tua).
Tugas dan Peran boru Parlopes dan Sihunti Ampang.

Dikatakan boru Parlopes karena seiring dengan tugasnya sebagai “ikon” parhobas yang melayani dan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan pada saat ulaon unjuk. Berikut gambaran umum tugas boru Parlopes :
1.Mengecheck dan memastikan semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk keperluan pesta unjuk. (termasuk ampang tempat manjalo tumpak, karung tempat beras dan tempat ulos, kantong plastik untuk jambar, demban/daun sirih untuk pinggan panungkunan, dll).
2.Mengkoordinir sesama boru (angka parhobas) sesuai dengan pembagian tugas masing-masing. Ada yang bertugas sijalo dengke dan sekaligus silehon ulak ni dengke, sijalo boras (yg memasukkan ke karung) dan sekaligus silehon ulak ni tandok, yang menghantarkan para Hulahula dan Tulang ke tempat yang telah disediakan.

3.Siap dan Stand by diperintah Raja Parhata(duduk disamping protokol dan sudah menggunakan sarung di pinggang). Tugasnya diantaranya menghantarkan microphone dan daftar Hulahula dan Tulang ke pihak Hulahula ni paranak dan menghantarkan pinggan panungkunan.

Dikatakan Sihunti Ampang karena dia lah yang bertugas manghunti (menjinjing diatas kepala) boan-boan berupa sipanganon na tabo yang dibawa pihak paranak ke rumah pihak parboru. Secara umum di JABODETABEK Sihunti Ampang akan menghunti (menjinjing) makanan dalam wadah Ampang yang ditutup dengan ulos pada saat ulaon Sibuhabuhai.

Note: yang harus dipahami perihal ulos tutup ampang adalah jika Sibolang tutup ni jual berarti menandakan bahwa parjuhutnya lomuk (pinahan lobu/B2), jika Ragi Hotang tutup ni jual berarti menandakan bahwa parjuhutnya sisemet imbulu (sapi/lembu), jika Pinunsaan atau Ragi Idup berarti menandakan bahwa parjuhutnya sitingko tanduk(kerbau). Artinya jika nanti siang diacara adat tudu-tudu sipanganon adalah sapi maka tutup ampang yang di jinjing sewaktu sibuhabuhai adalah Ragi Hotang, jangan sampai tutup ampang Ragi Hotang padahal tudu-tudu sipanganon lomuk (pinahan lobu/B2).

Disamping itu tugas lainnya adalah membantu suaminya terutama poin 1 tugas boru Parlopes. Filosopinya adalah dia ikut membantu menanggung beban berat yang di tanggung Hulahulanya (saudara laki-lakinya). Pada saat acara mangulosi Sihunti ampanglah yang bertugas pasahat piso-piso (sejumlah uang dalam amplop yang diberikan kepada setiap orang rombongan Hulahula dan Tulang setelah menyampirkan ulos).

Pasangan boru Parlopes dan Sihunti Ampang akan menerima Ulos Sihunti Ampang. Secara umum ulos yang akan mereka terima adalah jenis Ragi Hotang.

sumber : http://sitorusdori.wordpress.com

Astrologi Batak (Zodiak Versi Batak)

Sejak dulu ternyata nenek moyang orang Batak telah mengetahui perkiraan waktu dan rasi bintang, sebagaimana halnya dengan bangsa Yunani dan bangsa Cina. Kelahiran seseorang dikatakan ’Masiboan Porda na do tu langgu ni sasabi, masiboan bagianna do tu si ulu balang ari’. Inilah hasil penelusuran Dr Sudung Parlindungan Lumbantobing soal astrologi di Tanah Batak.

Ditemui METRO di Kantor Radio Suara Anugerah (Rasurah) milik Pemkab Tapteng di Pandan, Senin (12/1) kemarin, Dr Sudung Parlindungan Lumbantobing tampak masih segar dan energik. Padahal, usianya sudah 70-an tahun. Bincang-bincang soal astrologi di Tanah Batak, mantan Kepala Stasiun RRI di berbagai kota ini mengatakan, dirinya tidaklah piawai. ”Saya hanya menelusuri dan mencoba menjelajahi pemikiran orang Batak dulu, khususnya para Datu bidang astrologi Batak di sepanjang Pantai Barat, Pantai Timur, serta pedalaman Tanah Batak,” katanya dengan nada merendah.

Dari hasil penelusuran tokoh yang sering memakai nama samaran Mamak Sulto ini, ada strata ilmuwan Batak. Stratifikasi intelektual atau tingkatan cendekiawan dalam susunan masyarakat Batak dahulu terdiri dari Guru, kemudian Datu, dan terakhir Ompung atau Ompu. ”Predikat Keguruan seseorang diperoleh dari pengamatan dan penelitiannya, kemudian mengajarkan kepada para Datu. Seorang Datu dipercaya sebagai manusia yang sarat dengan pengalaman, perguruan, maupun ilham yang diperoleh. Sedang Ompu diakui otoritas dan kebenaran kata-katanya, pengaruhnya terutama kepada keturunan dan generasi di belakangnya,” kata Dr Sudung. Jumlah Guru lebih sedikit, sedang jumlah Datu lebih banyak.

Beberapa Guru yang populer abad ke-16 di kalangan orang Batak antara lain Guru Tinandangan, Guru Hatia Bulan, Guru Ramiti, Guru Mangaloksa, Guru Manomba Bisa, Guru Patimpus, Guru Sananga Diaji, Guru Humundul, Guru Tatea Bulan, Guru Somalaing, dan beberapa lagi.

Sedangkan para Datu terdapat pada setiap induk marga, di antaranya Datu Pulungan, Datu Dalu, Datu Parmanuk Holing, Datu Mallatang Malliting, Datu Boru Sibaso Bolon, Datu Horbo Marpaung, Datu Jolma So Begu, Datu Parpansa Ginjang, dan lainnya. ”Ada juga Datu yang dibangkitkan menjadi Guru, sehingga memperoleh kedua predikat kebolehan itu,” kata Dr Sudung yang juga mantan wartawan ini.

Semua sumber ilmu pengetahuan guru dalam buku (pustaha) berawal dari Mulajadi Nabolon, yang mereka tulis sendiri dan ditambah hasil penemuan dan pengalaman baru. Ilmu itu diajarkan terbatas kepada para muridnya, terutama pada Datu. Juga ditulis dalam Buku Pustaha masing-masing guru. Salahsatu buku penting menyangkut ’Tingki’ (waktu), yang disebut parhalaan. ”Hampir semua guru memilikinya, dan juga digunakan para Datu setiap kerajaan. Terakhir, banyak para guru menyalinnya dan diberikan kepada para ’Datu’ untuk digunakan,” jelas Dr Sudung.
Mencermati berbagai sumber terutama dari bagian buku Pustaha, tulisan orang-orang Eropa/laporan mereka serta keterangan para orang tua, kesadaran orang Batak tentang Tingki (masa atau waktu) sudah sangat tinggi. ”Tingki atau waktu dalam satu hari pada awalnya terdiri dari 5 fase,”jelas Dr Sudung. Yakni Sogot, kemudian menjadi Pangului, selanjutnya Hos, kemudian Guling, dan terakhir Bot. Setelah disadari pembagian itu hanya terjadi di siang hari, maka guru lainnya mencatat waktu malam, yakni samon, sampinodom, tonga, tahuak manuk, dan terakhir torang. Begitulah sirkulasi seterusnya kembali sogot, pangului, hos, guling, bot, samon, Sampinodom, tonga, tahuak manuk, dan torang.

Terakhir para Guru dan Datu Jenius mengadakan pertemuan dan menyepakati, satu hari adalah 24 jam. Dan untuk siang hari, pembagian waktunya yakni Binsar mataniari pukul 6, Pangului pukul 7, Tarbakta pukul 8, Tarbakta Raja pukul 9, Sagang pukul 10, Humara Hos pukul 11, Hos Ari pukul 12, Guling pukul 13, Guling pukul 14, Dua Gala pukul 15, Sagala pukul 16, dan Bot Ari pukul 17.

Kemudian untuk malam hari dibagi sebagai berikut, Sundut Mataniari pukul 18, Samon pukul pukul 19, Hatiha Mangan pukul 20, Tungkap Hudon pukul 21, Sampinodom pukul 22, Sampinodom na bagas pukul 23, Tonga Borngin pukul 24, Haroro ni Panangko pukul 1, Tahuak Manuk Sahali pukul 2, Tahuak Manuk Paduahon pukul 3, Buha-buha Ijuk pukul 4, Torang Ari pukul 5.

”Dari pengamatan berikutnya, perbedaan antara hari demi hari disebut dalam istilah perkiraan 1 minggu, sebagaimana terdapat pada kalender Julian,” kata Dr Sudung. Hari Minggu disebut orang Batak Artia. Senin dinamai Suma, Selasa dinamai Anggara, Rabu disebut Muda, Kamis dinamai Boraspati, Jumat disebut Singkora, dan Sabtu disebut Samisara.

Uniknya, kata Dr Sudung lagi, kalau bangsa-bangsa lain memberi nama hari untuk setiap minggu itu sama, maka orang Batak, dari pengamatan dan pengalamannya, hari demi hari dalam setiap minggu ada perubahan. Karena itu, meski dasar-dasar hari itu sama, namun pada minggu kedua, nama hari berubah. Misalnya, hari Minggu pada minggu kedua dinamai Artia ini Aek, Senin disebut Suma Mangodap, Selasa dinamai Anggara Sampulu, dan seterusnya.

Yang istimewa, para Guru Batak zaman dulu menyadari bahwa setiap tanggal 15 pertengahan bulan adalah Bulan Purnama. Sehingga setiap hari tanggal pertengahan bulan tetap nama harinya, yakni dinamakan Tula. ”Mereka telah menyadari, bahwa rata-rata setiap bulan terdiri dari 4 minggu, dengan setiap hari diberi nama dengan 30 nama hari, dan ada 12 bulan dalam setahun. Mereka juga menyadari adanya tahun kabisat,” jelasnya.

Pengalaman mereka, dari 30 tahun ada 19 kali menggunakan Parhalaan dengan perkiraan hari 354 hari dalam setahun, dan 11 kali dalam 30 tahun menggunakan hari 355. Sehingga dalam penggunaan Parhalaan, dipakai adanya bulan 13 untuk penetapan hari/bulan/tahun. Dengan Parhalaan 2 jenis, yaitu satu yang bulannya 12 satu tahun, dan satu lagi untuk tahun kabisat dengan perkiraan bulan ke-13 dari 30 tahun itu. Sedang rata-rata seluruh bulan tetap dihitung 30 hari.

Perhitungan tahun Batak atau permulaan Tahun Batak dimulai saat terbenamnya Bintang Orion di ufuk Barat, atau saat terbitnya Bintang Scorpio (Hala) di langit sebelah Timur. ”Dengan demikian, tergambar hubungan Bulan-Bintang-Bumi, dan Matahari dengan manusia yang menghuni bumi,” jelasnya.

Para Guru dan Datu Batak juga menyadari perubahan musim kemarau dan musim penghujan serta musim pancaroba (peralihan). Itulah yang menjadi dasar dan pedoman untuk melakukan penanaman padi, penangkapan ikan, perburuan, maupun peperangan, serta pengaruh terhadap kesehatan dan penyakit.

Dalam astrologi Yunani yang banyak dianut dunia internasional, zodiak lebih dikenal nama-nama Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricoren, Aquarious, dan Pisces. Sedangkan di tanah Batak, zodiak atau Parmesana-12 dikenal dengan nama-nama: Marhumba Periuk (simbol hudon), Mena (simbol ikan), Gorda (simbol kambing), Marsoba (kupu-kupu), Nituna (cacing), Makara (kepiting), Babiat (singa), Hania (elang), Tola (pohon), Martiha (batu), Dano (air), dan Harahata (kodok).

Parmesana-12 orang Batak mempunyai dasar perkiraan dan simbol zodiak sebagai berikut:



Zodiak Yunani dan Parmesana-12 ada kemiripan dalam tanggal, tapi tetap berbeda meski tipis. Misalnya kepiting dalam astrologi Yunani adalah yang lahir tanggal 21 Juni-21 Juli. Sementara dalam Parmesana-12, makara (kepiting) adalah orang yang lahir tanggal 19 Juli-20 Agustus.

”Waktu atau partingkian bagi manusia yang kurang menyadari, terasa lama. Tetapi setelah dilalui, terasa singkat ketika tiba-tiba menyadari bahwa pagi telah berganti siang, dan gelap mulai menjelang malam, dan yang terjadi adalah penyesalan. Menyadari hal itulah, maka orang Batak tempo dulu pergi marguru atau mangalualu (bertanya) kepada Datu,” jelas Dr Sudung Parlindungan kepada METRO.

Oleh Datu, ditiliklah rasi bintang kelahiran seseorang dan diperkirakan dengan futurologi masa dulu, apa dan bagaimana dia, sesuai kemampuan terbatas sang Guru atau Datu meramalkannya. ”Benar tidaknya, terserah kepada masing-masing orang Batak tempo dulu itu,” kata Dr Sudung.

Kelahiran 9 Februari sampai 10 Maret dilambangkan dengan simbol hudon atau dalam bahasa ramal Marhumba Periuk. Ini mempunyai sifat sosial, umumnya mereka mudah menyesuaikan diri dengan orang lain.Banyak taktiknya dan disukai orang lain. Hanya saja sering pelupa, sehingga sering dianggap sebagai orang yang ingkar janji. Cocok menjadi guru, datu, dan tabib.

Kelahiran 11 Maret sampai 12 April dlambangkan dengan simbol ikan (mena), mempunyai sifat suka mengalah, lincah, dan agak kikir serta suka bergaul dan rukun. Keberuntungannya cenderung menyukai perdamaian daripada keributan. Cocok menjadi seniman, sopir.

Kelahiran 13 April sampai 14 Mei dilambangkan dengan simbol kambing (gorda) mempunyai sifat agak cengeng dan suka akan hal-hal baru. Daya pikirnya luas dan selalu ingin berkembang dan liar. Sifat pantang mundurnya menyebabkan dia dapat menjadi pemimpin yang sukses. Cocok menjadi pegawai, guru, Datu, pengembara, wartawan, tentara.

Kelahiran 15 Mei sampai 16 Juni disebut Marsoba, dilambangkan dengan simbol kupu-kupu. Mempunyai sifat sabar, telaten, dan lamban menyesuaikan diri. Ia pemikat yang jitu. Tapi kalau sudah marah, bisa frustasi dan hancur-hancuran. Dia pandai berhemat, tetapi kalau menginginkan sesuatu tidak menanggung resiko apapun. Cocok menjadi seniman, perawat, juru runding, pemasaran, dan pengusaha.

Kelahiran 17 Juni sampai 18 Juli disebut Nituna, dilambangkan dengan cacing. Mempunyai sifat sosial. Sifatnya yang kurang baik adalah pendapatnya yang sering berubah dengan kata lain tidak berpendirian tetap. Tetapi daya pikirnya luas dan jiwanya selalu hidup tak senang pada perubahan baru. Cocok menjadi pionir, serdadu, polisi, perencana, dan pelaut.

Kelahiran 19 Juli sampai 20 Agustus, disebut Makara, dilambangkan dengan simbol kepiting. Mempunyai perasaan sangat halus dan suka menyendiri. Sifat penyayangnya amat besar, terutama terhadap binatang. Golongan ini tidak senang foya-foya, lebih senang hidup di rumah daripada bepergian. Cocok menjadi serdadu, penyawah, saudagar, tabib, dan rohaniawan.

Kelahiran 21 Agustus sampai 22 September disebut Babiat, dilambangkan dengan singa. Ia bersifat jujur, pemberani, dan terus terang. Karena itu di mana-mana ia dipercaya orang. Sayangnya dia sangat mudah naik darah walaupun cepat juga menjadi baik. Cocok menjadi serdadu, guru, Datu, pendekar, dan pelopor.

Kelahiran 23 September sampai 24 Oktober, disebut Hania dilambangkan dengan simbol elang yang berarti kesucian. Sifatnya yang tampak adalah kritis, jadi cocok kalau jadi kritikus. Dia tidak mau menerima apa saja yang diterangkan seseorang dan pekerjaannya selalu rapi. Golongan ini tidak senang menonjolkan diri di depan umum, dan firasatnya amat tajam. Cocok menjadi pedagang, saudagar, pelaut, dan pionir.

Kelahiran 25 Oktober sampai 26 November disebut Tola, dilambangkan dengan pohon. Biasanya tidak mudah tersinggung. Perasaannya halus. Dalam mengambil keputusan kadang-kadang tampak lambat sehingga sukar dipengaruhi. Kurang pandai menyesuaikan diri dalam pergaulan dan senang berpakaian indah. Cocok menjadi guru, petani, padri, tabib, dan pimpinan.

Kelahiran 27 November sampai 28 Desember dinamai Martiha, dilambangkan dengan simbol batu. Mmepunyai semangat kuat dalam menempuh segala hal. Sifatnya yang agak aneh ialah sering merahasiakan sesuatu dan tertutup. Biasanya tabah dalam menghadapi segala rintangan. Ulet dan tidak suka bersenda gurau. Cocok menjadi datuk, pendekar, peneliti, serdadu.

Kelahiran 29 Desember sampai 30 Januari disebut Dano, dilambangkan dengan air. Mempunyai sifat berani mengadu untung. Biasanya mempunyai tubuh yang kuat hingga cocok menjadi olahragawan. Cerdas dan rajin bekerja. Berjiwa sosial tinggi tetapi kadang-kadang sombong. Cocok menjadi rohaniawan, tabib, guru, intelijen.

Terakhir kelahiran 31 Januari sampai 8 Februari disebut Harahata, disimbolkan dengan kodok, mempunyai sifat tekun mengerjakan sesuatu, pantang mundur. Tetapi ia tidak mudah percaya akan omongan orang. Cocok menjadi penyanyi, sastrawan, pengarang, budayawan, wartawan, penulis.

”Itu hanya gambaran dasar dari Parmesana-12. Masih ada beberapa ciri khas masing-masing, selengkapnya ada di buku yang sedang saya susun, berjudul ’Menelusuri Astrologi di Tanah Batak’, yang diharapkan dapat segera dicetak,” kata Dr Sudung.

Dalam menilik futurologi seseorang, jelas Dr Sudung lagi, Guru dan datu biasanya menkrosceknya dengan panggorda na-pitu atau na walu. ”Datu atau Guru yang mempunyai talenta di bidang itu akan membicarakan nasib peruntungan seseorang berdasarkan pembicaraan roh melalui mulutnya, tentang hari baik, hari buruk, yang sebenarnya bisa diterjembahkan secara logika masa kini. Karena bisa dipelajari lewat pustaha,” katanya.

Maniti ari! Mungkin orang Batak pada umumnya pernah mendengar istilah itu. Maksud maniti ari adalah mencari hari dan bulan baik. Biasanya dilakukan untuk mencari tanggal baik untuk menggelar pesta perkawinan atau pesta-pesta besar lainnya. Maniti ari itu istilah sekarang ibarat prakiraan cuaca, tetapi ala kalender Batak.

Menilik kalender Batak sebelum menetapkan tanggal pesta, barangkali umum terjadi di sejumlah keluarga Batak yang masih memegang tradisi. Bagi keluarga yang tak paham cara ’melihat’ kalender Batak atau tak punya kalender Batak, boleh berkonsultasi pada ’orang pintar’ untuk memilihkan hari baik dan bulan baik.
Hasil penelusuran Dr Sudung Parlindungan Lumbantobing dari sejumlah Datu bidang astrologi Batak di sepanjang Pantai Barat, Pantai Timur, serta pedalaman Tanah Batak, dalam maniti ari, umumnya suhut atau yang empunya hajat pestalah yang pertama menentukan bulan berapa rencananya pesta akan digelar. Nah, berikutnya Datu yang dimintai jasa akan me-recek tanggal dan bulan dimaksud dalam parhalaan (kalender Batak).

Ada sistem perhitungan yang dimiliki oleh si Datu. Dalam Kalender Batak, nama-nama hari berbeda untuk 30 hari, meski dengan nama dasar yang sama. Misalnya, hari kedua minggu pertama disebut suma, hari kedua minggu kedua disebut suma ni mangadop, hari kedua minggu ketiga disebut suma ni holom, dan hari kedua minggu keempat disebut suma ni mate.

Jumlah bulan ada 12, yakni Sipaha Sada (April), Sipaha Dua (Mei), Sipaha Tolu (Juni), Sipaha Opat (Juli), Sipaha Lima (Agustus), Sipaha Onom (September), Sipaha Pitu (Oktober), Sipaha Walu (Nopember), Sipaha Sia (Desember), Sipaha Sampulu (Januari), Li (Pebruari), dan Hurung (Maret).

Dalam mencari tanggal dan bulan yang baik, Datu biasanya memadukan Parmesana-12 (sudah dijelaskan di tulisan sebelumnya), Panggorda na-pitu atau walu (elang, ular, burung pipit, embun, singa, borang-borang, anjing, dan air), dikroscek dengan parhalaan (kalender).

”Penggunaan Panggorda Vs Parmesana-12 tidak selamanya dilakukan, apabila Datu telah yakin pilihannya akan hari. Apabila tidak yakin, barulah dilakukan rechecking dengan panggorda. Bila Parmesana-12 menang, maka tetap dianggap hari baik,” jelas Dr Sudung.

Adapun para astrologi dan Datu Batak zaman dahulu menerjemahkan arti parhalaan sebagai berikut:
Pada hari atau minggu di mana terdapat tanda kepala dan jepitan kalajengking, menandakan kerugian mengadakan pesta besra. Demikian juga bila ada tanda perut ataupun ekornya. ”Dan jika ada bulatan berisi titik besar, sebaiknya dihindari sebagai hari menikahkan anak perempuan/laki-laki,” kata Dr Sudung.

Tanda kali dan bulatan (XO) diartikan sebagai saat yang baik untuk menerima uang dan menagih uang dari orang lain. Tanda H atau tanda satu disebut ’Simonggalonggal’. Pada hari di mana tanda itu ada, disarankan menghindari memasuki rumah untuk rumah yang baru selesai dibangun, atau akan ditempati penghuni baru.

Tanda X (kali) diartikan untuk memancing ikan, atau kalau mengadakan pesta disebut sebagai waktu yang baik untuk menyajikan pangupaon dengan ihan. Adapun dua bulatan menandakan buah atau disebut Ari Parbuea, dipercaya sebagai saat yang tepat untuk bertanam atau mengadakan pesta perkawinan.

Tanda 10 (angka satu dan angka kosong), adalah tanda alang kepalang atau hari tanggung. Maksudnya, pekerjaan yang dilakukan pada hari itu tidak tuntas. ”Jadi hindari untuk menyelenggarakan perundingan komersil,” kata mantan staf ahli Menteri Penerangan lagi.

Tanda kail berdiri bermata dua dan juga tanda V terbalik biasanya adalah hari yang dihindari untuk melakukan kegiatan, karena dipercaya membawa kerugian. Begitu juga dengan tanda hala (kalajengking) sungsang dengan simbol bagian kepala hala membarat (hala sungsang) juga disebut kurang baik.

Tanda atau lambang hala ke utara adalah hari matahari mati. Partilaha, artinya sering terjadi kematian. Tanda getar suara adalah juga hari yang dihindari, karena tanda itu berarti banyak suara-suara sumbang yang pro dan kontra dan oposan.

Tanda bulatan kecil disebut disebut ari na walu, hari ke delapan. Dipercaya, seorang suami akan kehilangan istri atau sebaliknya, bila mengadakan pesta pada hari yang ada tanda dimaksud.
Tanda XI (sebelas Romawi), disebut ’ari pangugeuge’, hari yang kurang baik berpesta, tetapi sangat baik untuk berburu babi hutan. Tanda kotak hitam adalah hari netral, tergantung baik buruknya pada niat dan keinginan manusia.

Dr Sudung lebih lanjut menjelaskan, tidak banyak perbedaan peramalan antara Datu di pedalaman dengan Datu di pesisir Pantai Barat dan Timur. Hanya saja, susunan dan penetapan tanda parhalaan dan perhitungan setiap 30 tahun (tahun-tahun kabisat), menggeser pemakaian parhalaan, menimbulkan perbedaan penggunaan simbol/lambang pada parhalaan 13 dan parhalaan 12 bulanan.

Orang-orang Batak yang tinggal di Pantai Barat dan di Pantai Timur, selain menggunakan kalender Batak, juga dikaitkan dengan perkembangan bintang di langit untuk melakukan pelayaran.

Sumber : dameambarita.wordpress.com

Kamus Bahasa Batak Toba

Mungkin Cukup banyak diantara kita orang suku Batak Toba yang tidak mengerti bahasa Batak? banyak saja alasan yang terucap. Ada yang beralasan mengerti mengartikan bila mendengar orang sedang berbahasa Batak tetapi tidak mengerti untuk mengucapkannya, ada juga yang beralasan mengerti sedikit, bahkan ada yang mengakui tidak mengerti bahasa batak sama sekali.

Sangatlah malu melihat hal tersebut, karena di belakang nama kita diikuti dengan Marga/ Boru kita tetapi tidak mengerti bahasa Batak. Atau maukah anda disebut dengan kata “DALLE”? Sebagai bahan memotivasi anda betapa pentingnya sebagai orang batak mengerti bahasa Batak, mungkin kita patut untuk melihat keteladanan video lagu yang dinyanyikan trio anak-anak di bawah ini:


Tidak ada kata terlambat untuk belajar mengerti bahasa Batak Toba, sebagai bahan pembelajaran mungkin anda memerlukan sebuah kamus Batak Toba??? Yah, itulah yang sedang anda perlukan saat ini selain belajar langsung dengan orang yang megerti bahasa Batak Toba.

Pada artikel kali ini saya coba membantu anda mencarikan kamus bahasa Batak Toba tersebut, dapat di Download Disini.


Untuk mengekstrak file tersebut masukkan kata sandinya: siraitmargaku

Setelah anda mendownloadnya langsung saja install kamus tersebut hingga proses selesai. Bila kamus tersebut dijalankan, kira-kira akan terlihat seperti gambar di bawah ini:


Sebagai contoh pada gambar di atas bila kita masukkan kata “hasian” maka akan muncul apa arti dari kata tersebut pada panel sebelah kanannya.
Untuk selanjutnya silahkan anda mengisikan bahasa batak lainnya yang ingin anda ketahui artinya, semoga bermanfaat.

Jadi naparpudi tarsongon hatani umpasa namandok:
Bidang siberongon, manatap sian dolok panatapan..
Sai anggiat ma marguna soratan on, manambai parbinotoan..

Horas…..!

Belajar Aksara Batak

Belajar Aksara Batak amatlah mudah. Ke-19 aksara yang ditambah beberapa tanda diakritik dapat cepat dipahami.

AKSARA
Semua ina ni surat yang berupa konsonan berakhir dengan bunyi /a/ (bp bapa).


ANAKNI SURAT
Untuk menambah bunyi vokal, bunyi sengau dan bunyi /h/ serta untuk mematikan bunyi /a/ perlu ditambah beberapa tanda diakritik (anak ni surat). Perhatikan bahwa dari semua bahasa Batak, bahasa Toba memiliki jumlah bunyi bahasa yang paling sedikit. Hanya bahasa Karo dan Pakpak yang memiliki bunyi e-pepet dan oleh sebab itu maka ada huruf tersendiri untuk e-pepet yang berbeda dengan e-keras. Dalam bahasa Batak lainnya bunyi e-pepet menjadi /o/: telu => tolu, besi => bosi.


Baik Toba maupun Mandailing tidak memiliki bunyi /h/ pada akhir suku kata sehingga: idah => ida, rumah => ruma, geluh => golu, reh =>ro.

Dalihan Na Tolu (Tungku Tiga Batu)


DALIHAN NA TOLU pada dasarnya berarti tungku (tataring) yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu mutlak diperlukan menopang agar belanga atau periuk tidak terguling. Selanjutnya di kemudian hari istilah dalihan na tolu ini dipergunakan untuk menunjuk kepada hubungan kekerabatan yang diakibatkan oleh pernikahan, yaitu dongan tubu (pihak kawan semarga), hula-hula (pihak “pemberi perempuan”) dan boru (pihak “penerima perempuan”). Sebab itu dalihan na tolu adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh suatu masyarakat dan budaya Batak. Dalihan na tolu bukanlah wahyu atau sesuatu yang alami dan terjadi dengan sendirinya. Dalihan na tolu adalah produk budaya Batak.

1. BERKEMBANG DALAM SEJARAH

Jika kita melihat secara kritis kultur Batak termasuk dalihan na tolu sebenarnya bukan sesuatu yang statis atau beku tetapi juga mengalami pergeseran dan perkembangan dalam sejarah. Sebagai contoh penghormatan terhadap hula-hula justru semakin kuat dengan datangnya kekristenan. Mengapa? Sebab sulit kita membayangkan bahwa nenek moyang kita dapat memberi penghormatan yang sama tingginya kepada tiap hula-hula jika dia memiliki istri lebih dari satu. Lebih sulit lagi membayangkan nenek-moyang kita dapat menghormati hula-hula dari selir (rading) atau istri yang diperolehnya secara paksa dari peperangan atau bekas hambanya. Namun dengan masuknya kekristenan yang membuat pernikahan orang Batak menjadi monogami dan permanen (abadi) maka dampaknya penghormatan terhadap hula-hula juga semakin kuat. Semakin baik pernikahan maka penghormatan kepada hula-hula juga semakin baik.

Contoh lain menunjukkan pergeseran dalihan na tolu: Pada jaman dahulu tidak semua even pertemuan Batak dihadiri oleh tulang atau hula-hula (kecuali pesta besar). Hal ini dapat dimaklumi karena hula-hula atau tulang tinggal di kampung yang lain yang jauh (kecuali bagi sonduk hela, orang yang menetap di kampung hula-hulanya). Namun keadaan ini berubah dengan migrasi orang Batak ke luar Tapanuli. Kampung dan kota di luar Tapanuli bersifat majemuk (multi marga, multi suku). Banyak orang kini tinggal sekampung atau bahkan bertetangga dengan hula-hula atau tulang-nya.
Apakah dampaknya? Interaksi antara hula-hula dan boru semakin intensif. Jika ada acara di rumah banyak orang jadi sungkan jika tidak mengundang tulang atau hula-hula yang kebetulan menjadi tetangga atau tinggal sekota dengannya.

Pada jaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di Tanah Batak kampung identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan tubu”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-kota lain keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu (kawan semarga). Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta (parsahutaon) yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan partubu jumonok dongan parhundul.

2. MANAT MARDONGAN TUBU, ELEK MARBORU, SOMBA MARHULA-HULA

Jika kita perhatikan kampung-kampung tradisional di Tapanuli dihuni oleh orang-orang yang semarga. Dongan tubu karena itu adalah teman untuk mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu kita harus memperlakukan dongan tubu secara hati-hati (manat). Kehati-hatian pada dasarnya adalah bentuk lain dari sikap hormat. Nasihat ini relevan sebab justru kehati-hatian sering kali hilang karena merasa terlalu dekat atau akrab. Hau na jonok do na masiososan. Selanjutnya Elek marboru merupakan nasihat bahwa boru harus senantiasa dielek atau dianju (dibujuk). Boru adalah penopang dan penyokong. Sebab itu mereka senantiasa diperlakukan dengan ramah-tamah dan lemah-lembut agar mereka tidak sakit hati dan kemudian membiarkan hula-hula-nya. Namun sebaliknya: Bagi orang Batak pra-Kristen hula-hula memang dipandang sebagai mata ni ari bisnar, sumber berkat dan kesejahteraan, sebab itu harus disembah (somba marhula-hula).

Lantas bagaimana dengan kita orang Kristen? Prinsip-prinsip dalihan na tolu ini dapat terus kita pertahankan sebagai kontsruksi budaya yang positif. Namun makna somba marhula-hula harus kita beri warna baru. Sebab bahasa Batak tidak membedakan istilah hormat dan sembah. Sementara sebagai orang Kristen kita mengakui bahwa Tuhanlah sumber berkat satu-satunya. Hula-hula atau mertua hanyalah salah satu (baca: bukan satu-satunya) saluran atau distributor berkat yang dipakai Tuhan.
.
Selanjutnya sebagai orang Kristen dan moderen, kita juga harus memperkaya prinsip dalihan na tolu ini dengan semangat egalitarian (kesetaraan). Pada dasarnya tiap-tiap orang, tanpa kecuali, harus kita hormati. Tiap-tiap orang (apapun suku, ras, profesi, pendidikan, jenis kelamin, agama dan tingkat ekonominya) pantas mendapat hormat. Kita wajib menghormati hula-hula, melindungi boru dan memperlakukan hati-hati dongan tubu kita tanpa memandang latar belakang ekonominya, pendidikan, pangkat atau jabatannya.

3. SIRKULASI PERAN DAN JABATAN

Inti atau substansi kultur dalihan na tolu adalah sirkulasi dan distribusi peran dan jabatan. Dalam kultur Batak setiap orang tidak mungkin terus-menerus dihormati sebagai hula-hula. Hari ini menjadi boru, esok menjadi dongan tubu, lusa menjadi hula-hula. Hari ini duduk dilayani besok melayani. Tidak ada orang yang mutlak selama-lamanya (dondon pate) dihormati. Tidak ada juga orang yang selama-lamanya berada di bawah melayani!

Masyarakat Batak sangat sadar akan arti ruang atau tempat dan even. Peran dan kedudukan seseorang sangat dinamis sebab tergantung ruang dan even (ulaon). Sirkulasi peran dan jabatan ini merupakan kontribusi masyarakat Batak bagi gereja dan masyarakat. Bahwa semua orang harus bergantian melayani dan dilayani, menghormati dan dihormati. Tidak ada yang terus-menerus boleh menjadi kepala atau pemimpin.

Ini sangat relevan dengan dunia modernitas. Kepemimpinan moderen tergantung kepada even dan ruang dan waktu. Tidak ada orang yang boleh mengklaim menjadi pemimpin di setiap even, di semua ruang dan sepanjang waktu. Ini juga relevan dengan iman Kristen yang memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan (Gal 3:28) dan harus diperlakukan dengan hormat dan kasih (Roma 12:10, II Pet 1:7, Yoh 13:14, 34)

4.HUKUM BERBALASAN POSITIF

Selanjutnya dalihan na tolu merupakan perwujudan prinsip hukum berbalasan. Sisoli-soli do uhum siadapari do gogo. Saling berbalas adalah hukum dan saling berganti merupakan kekuatan. Boru memberikan juhut (daging) dan hula-hula menyambut dan memberikan boras dohot dengke (beras dan ikan). Boru memberikan piso-piso (uang) dan hula-hula merespons dengan memberi doa memohon berkat. Hula-hula memberikan ulos dan boru membalas dengan uang.

Prinsip berbalasan positif (sisoli-soli) ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kesejahteraan bersama. Beban dan keuntungan dibagi dan dipikul bersama. Hula-hula, dongan tubu dan boru harus sama-sama bersukacita dan beruntung. Tidak boleh ada pihak yang ingin menang dan nikmat sendiri!

Namun prinsip dalihan na tolu tetap harus dimurnikan senantiasa dengan KASIH AGAPE atau kasih tanpa mengharapkan balasan yang diajarkan Yesus. Yesus memang tidak pernah melarang kita membalas yang baik (seluruh ayat Alkitab hanya melarang membalas yang jahat), namun Dia menghendaki agar kita belajar juga mengasihi dan memberi tanpa mengharapkan balasan (pamrih).

5. KESETARAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Tuhan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sebagai citra Allah (Kej 1:27). Laki-laki dan perempuan sama dan setara di hadapanNya (Gal 3:28). Kekristenan mengajarkan bahwa perempuan bukanlah manusia kelas dua atau bagian laki-laki. Perempuan juga bukan properti milik laki-laki yang dapat dijadikan objek transaksi atau perjanjian jual-beli. Sebab itu komunitas Kristen-Batak juga harus menempatkan dalihan na tolu dalam konteks kesetaraan (hadosan) dan keadilan (hatigoran) laki-laki dan perempuan.

Pada jaman dahulu hula-hula dianggap sebagai pemberi perempuan. Namun di jaman modern perempuan yang bebas dan otonom karena itu tidak boleh dijadikan objek apalagi “diserah-terimakan”. Perempuan adalah subjek atau pribadi. Pernikahan karena itu kini dianggap perjanjian dua pihak yang setara. Akibatnya secara tak langsung makna hula-hula pun bergeser bukan lagi sebagai “marga pemberi perempuan” namun “marga asal perempuan”.

Sinamot atau tuhor (uang mahar pernikahan( karena itu bukanlah keuntungan yang diperoleh dari transaksi perempuan tetapi harus diartikan sebagai biaya (cost) yang diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama.

6. GEREJA MENCEGAH CHAOS

Gereja HKBP memiliki anggota yang mayoritas Batak (minimal sampai saat ini). Anggota HKBP karena itu juga dalam hidupnya menghayati dalihan na tolu. Salah satu prinsip dalihan na tolu adalah melarang pernikahan yang semarga. Gereja HKBP menerima prinsip melarang pernikahan semarga ini agar tidak terjadi chaos atau kekacauan di masyarakat. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus agar semuanya berlangsung secara teratur (I Kor 14:40) dan rapih tersusun (Ef 4:16)

7. DEPOLITISASI DAN DOMESTIKASI ADAT

Dahulu yang disebut adat Batak adalah segala sesuatu konsep, nilai, ide, hasil karya dan kegiatan orang Batak (menanam padi, membangun rumah, membuka kampung baru, berperang, mengikat perjanjian antar marga dll). Dalam perkembangan terakhir makna adat telah mengalami proses depolitisasi dan domestikasi. Kini adat Batak direduksi atau diminimalisasi menjadi sekedar ritus domestik (rumah tangga): ritus pernikahan, kelahiran dan kematian. Apa akibatnya? Peranan dalihan na tolu menjadi sangat dominan atau menonjol walaupun pada prakteknya kurang berpengaruh kepada kehidupan ekonomi dan politik komunitas Kristen-Batak itu sendiri. Sebab itu tantangan bagi kita sekarang adalah mencari dan menemukan hakikat atau esensi adat Batak itu sendiri agar tidak larut dan hanyut dalam ritus atau seremoni konsumtif belaka.

Sumber :
( Pdt. Daniel T.A. Harahap)
Home: http://rumametmet.com