Salah satu perbedaan terbesar antara masyarakat di belahan dunia Timur dengan di belahan
dunia Barat adalah dalam hal adat istiadat. Kehidupan masyarakat Timur dipenuhi dengan
berbagai jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan,
perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain -lain. Upacara-upacara di sepanjang
lingkaran hidup manusia itu di dalam antropologi dikenal dengan istilah rites de passages atau
life cycle rites.
Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus.
Upacara ini didasarkan pada pemikiran bahwa masa peralihan tingkat kehidupan itu
mengandung bahaya gaib. Upacara adat dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang
terhindar dari bahaya atau celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya, mereka
memperoleh berkat dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal yang terdapat di balik
pelaksanaan setiap upacara adat itu.
Beberapa life cycle rites yang dijumpai pada masyarakat Batak Toba di antaranya: mangganje
(kehamilan), mangharoan (kelahiran), martutu aek dan mampe goar (permandian dan
pemberian nama), marhajabuan (menikah), mangompoi jabu (memasuki rumah), manulangi
(menyulangi/menyuapi), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang),
dll. Pada masyarakat Batak lainnya (Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, dan Pakpak
Dairi), upacara tersebut memiliki sebutan-sebutan yang berbeda.
Persoalan besar dan sangat penting yang dihadapi oleh seseorang yang memutuskan untuk
sungguh-sungguh mengikut Tuhan Yesus adalah: apakah dia masih boleh terlibat dalam
upacara adat Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani
(haholomon) dan penyembahan berhala (hasipelebeguon). Permasalahan tersebut muncul
ketika Injil Tuhan Yesus diberitakan pertama kalinya oleh para Missionaris di Tanah Batak, dan
terus berlanjut hingga masa kini. Persoalan ini belum tuntas diselesaikan, baik sewaktu Pdt.
I.L. Nommensen masih hidup, pada masa gereja dipimpin para Missionaris penerusnya,
maupun pada masa pimpinan gereja berada di tangan orang Batak sendiri.
Nommensen mencoba membagi upacara adat atas tiga kategori, yaitu:
i. Adat yang netral
ii. Adat yang bertentangan dengan Injil
iii. Adat yang sesuai dengan Injil
Sebelum masalah itu tuntas, beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras
dilaksanakannya upacara adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk penggunaan musik
dan tarian (gondang dan tortor) Batak. Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada masa itu
banyak yang dikucilkan dari masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa menampung mereka
dengan membangun perkampungan baru, yang disebut Huta Dame.
Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing pernah dikenai disiplin gereja karena menghadiri sebuah
upacara kematian. Raja Pontas Lumban Tobing adalah orang yang memberikan tanahnya di
Pearaja, Tarutung untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan gereja. Dia termasuk seorang raja
Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini
mempunyai andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau
raja-raja di wilayah Silindung.
Namun sampai akhir hidupnya, Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah
satu sumber kegagalan Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri.
Nommensen sulit menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan dengan Injil
dan upacara adat mana yang netral.
Pada masa-masa akhir pelayanan para Missionaris di Tanah Batak, ditengah-tengah umat
Kristen Batak muncul suatu desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan
mengganti kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil
dengan diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942).
Tekanan supaya diizinkannya kembali upacara adat muncul sebagai dampak negatif dari
strategi penginjilan di tanah Batak dengan pendekatan struktural masyarakat Batak.
Penginjilan dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada raja-raja yang memimpin di
wilayah masing-masing marga. Pertobatan seorang raja biasanya segera diikuti dengan
pembaptisan massal dari penduduk di wilayah itu, yang umumnya memiliki ikatan kekerabatan
dengan sang raja. Dengan cara ini, para Missionaris berhasil dengan cepat mengkristenkan
wilayah Tapanuli bagian Utara.
Pihak gereja yang mengutus Nommensen menolak adanya pembaptisan massal yang tidak
didasarkan pada pertobatan pribadi. Namun, Nommensen terpaksa melakukannya mengingat
cepatnya gerakan islamisasi di Tapanuli Selatan, yang digerakkan oleh pasukan Tuanku Imam
Bonjol dan Tuanku Rao. Nommensen berharap mereka yang telah dikristenkan dapat
dibimbing dalam ajaran Tuhan di kemudian hari untuk memasuki pertobatan pribadi, mengikut
Yesus karena kemauan sendiri dan karena sudah mengerti ajaran Injil.
Dalam kenyataannya, pembaptisan massal kerabat seorang raja yang menjadi pengikut Yesus
banyak dilakukan karena solidaritas kekerabatan, bukan karena pertobatan murni dari
pemahaman akan Injil Yesus Kristus. Banyak dari mereka belum mengenal kekayaan dan
kemuliaan Injil Yesus Kristus sehingga tidak pernah mengalami pembaharuan hidup oleh kuasa
Roh Kudus dan mengerti keunikan Injil Kristus.
Pembaptisan massal tersebut memberikan kesibukan yang luar biasa bagi para Missionaris
dalam melayani Jemaat baru tersebut. Karena keterbatasan jumlah Missionaris, banyak
anggota Jemaat tersebut yang tidak sempat dibina dalam prinsip-prinsip sejati pemuridan
Yesus Kristus. Secara organisasi mereka anggota gereja, tetapi dalam pemikiran dan cara
hidup mereka masih sebagai orang Batak Haholomon (kegelapan) yang terikat dengan cara
pikir dan cara hidup hasipelebeguon.
Persoalan ini juga disebabkan oleh tidak adanya pedoman atau aturan gereja yang jelas dari
pimpinan di Jerman, yang mengirim para Missionaris. Mereka sendiri belum dapat
memutuskan sikap yang jelas terhadap upacara adat Batak karena upacara adat Batak
merupakan hal baru bagi mereka. Karenanya, terdapat perbedaan sikap yang belum pernah
dituntaskan di antara para Missionaris dalam menyikapi jenis-jenis upacara adat Batak yang
harus ditinggalkan. Namun pada prinsipnya, mereka sangat menekankan bahwa segala bentuk
hasipelebeguon harus ditinggalkan, karena bertentangan dengan Firman TUHAN.
Pdt. I.L.Nommensen yang pelayanan utamanya berada di Silindung memiliki sikap yang tegas
melarang keberadaan berbagai unsur upacara Hasipelebeguon, termasuk tortor dan gondang.
Tetapi Gustav Pilgram yang melayani di Balige dan sekitarnya justru mengizinkan tortor dan
gondang dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti: unsur hasipelebeguon harus
dihilangkan, pemimpinnya harus missionaris, dilaksanakan pada siang hari, peralatannya milik
orang Kristen, dan tidak boleh diikuti oleh orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus.
Perbedaan sikap Pilgram itu dianggap oleh banyak orang Batak sebagai lampu hijau bagi
penerimaan adat Batak di dalam kekristenan. Mereka tidak memahami alasan Pilgram
mengizinkan dan memahami sikap dasar Pilgram bahwa segala bentuk hasipelebeguon tetap
harus disingkirkan dari kehidupan kekristenan. Alasannya untuk mengizinkan tortor dan
gondang dapat kita baca dari “referat 1885” (dikutip dari buku “Parsorion ni Gustav Pilgram”,
karangan DR. Andar Lumban Tobing):
“Disipareonta tung sogo do gondang i, jala tortor i pe ndang pasonanghon pamerenganta. Alai
na mansai manarik gondang dohot tortor i di halak Batak, boi do dibuktihon godang ni loloan
na bolon na mandohotsa. Haru angka Kristen dohot angka parguru pe, tung maol do padaohon
nasida sian i. Aut so manarik situtu na ginoran ondeng tu halak Batak i, ndang apala penting
tema i, ia so i, molo halak Kristen naung marpangalaman sambing do siadopanta dison, na so
mamorluhon gondang dohot tortor, ndang penting tema ginoran nangkin, ai manang ise
marnampunahon Anak ni Amata, nunga di ibana hangoluan na saleleng-lelengna, nunga
martua nuaeng nang ro di saleleng-lelengna, jala ndang mamorluhon gondang dohot tortor be
ibana. Alai dison angka Kristen na baru tardidi dope dohot angka na so marpangalaman, na
ingkon sitogu-toguon dope songon dakdanak. Didok rohangku, ndang adong hakta mambuat
sude sian nasida naung adong hian di nasida, saleleng so adong pangantusion di nasida
mangonai na dumenggan i na naeng boanonta tu nasida.”
Pilgram tidak setuju, namun terpaksa mengizinkan keberadaan gondang dan tortor. Mereka
dinilai belum memiliki pengertian akan Kristus, belum berpengalaman, masih seperti seorang
anak kecil. Dia berkeyakinan, bila orang Batak itu sudah memiliki pengenalan akan Kristus
(dewasa rohani), dia akan mengenal arti hidup yang kekal di dalam Kristus itu, dan pada
akhirnya mereka tidak memerlukan lagi tortor dan gondang itu dan meninggalkannya. Jadi
tidak perlu dipaksa. Namun, setelah ditunggu selama seratus lima belas tahun kemudian,
yakni awal tahun 2000 ini, masih banyak orang Kristen Batak yang masih hidup didalam
tingkat rohani seperti yang dikatakan oleh Pilgram itu. Alangkah pedihnya hati Pilgram kalau
melihat kenyataan seperti yang ada saat ini.
Pendudukan Jepang memaksa para Missionaris meninggalkan Indonesia tanpa berhasil
menuntaskan masalah upacara adat. Kepergian mereka meninggalkan kekosongan teologia
(theologia in loco) dan kebingungan rohani di tengah-tengah Jemaat Batak. Keterikatan
dengan pola hidup lamanya telah mendorong Jemaat untuk mendesak pimpinan gereja mengizinkan
kembali pelaksanaan berbagai upacara adat. Desakan ini didukung oleh argumentasi
teologis yang dikemukakan para pemimpin rohani yang belum mengalami pembaharuan total
dalam pola pemikirannya.
Argumentasi teologis tersebut merupakan suatu pemahaman Injil yang mengkompromikan
kebenaran ajaran Injil dengan ajaran agama Batak, teologia yang bersifat sinkretis
(pengajaran atau cara hidup yang berasal dari campuran dua atau lebih ajaran), yang dapat
diterima oleh pemikiran jemaat kebanyakan. Dalam teologi ini diakui bahwa Yesuslah satusatunya
Jalan, Kebenaran, dan Hidup, tetapi dalam hidup sehari -hari perlu dipertahankan
upacara adat (agama) Batak, yang diketahui dengan jelas berasal dari Hasipelebeguon.
Teologi Sinkretis inilah yang diajarkan kepada Jemaat Kristen Batak sampai hari ini. Teologi
Sinkretis ini telah menjadi arus utama didalam pemahaman iman Jemaat Kristen Batak pada
masa sekarang.
Akibatnya, pada generasi berikutnya merebak kembali pelaksanaan berbagai upacara adat
yang sebelumnya telah dilarang oleh para Missionaris untuk dilakukan. Sebagai contoh,
upacara kematian (hamatean), upacara memindahkan tulang belulang (mangongkal holi),
pelaksanaan tortor dan gondang Batak di gereja dan berbagai upacara lainnya.
Bukan itu saja, upacara penyembahan nenek moyang yang merupakan inti agama Batak pada
masa kegelapan, kembali merebak dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen sekarang.
Kebangkitan penyembahan ini mengambil bentuk baru yang ditandai dengan menjamurnya
pembangunan tugu-tugu marga Batak. Anda dapat melihat banyaknya tugu yang dibangun di
sepanjang jalan lintas antara kota Parapat dengan kota Tarutung. Tugu tersebut dibangun oleh
keturunan marga yang berasal dari satu garis leluhur (ompu parsadaan). Pembangunan ini
telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan mendatangkan kemerosotan rohani yang
dalam. Kalau dahulu Nommensen mau dikorbankan oleh orang Batak kepada roh sembahan
leluhur marganya diatas bukit Siatas Barita, maka sekarang yang terjadi sebaliknya. Banyak
pendeta dan penatua pemimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek moyang di tugutugu
marga.
Ironisnya lagi, pelaksanaan upacara dari masa kegelapan itu dibungkus dengan kebaktian
gerejawi, yang dilaksanakan di lokasi pendirian tugu marga dimana tulang belulang leluhur
tersebut dikuburkan kembali. Proses pembangunan tugu juga banyak melibatkan kuasa-kuasa
setan melalui datu (spirit medium), misalnya untuk menentukan lokasi penggalian tulang
belulang leluhur marga.
Tanpa disadari umat Tuhan di tanah Batak telah berubah menjadi umat yang mendua hati
(shizoprenis: terpecah), yang pada satu sisi mencoba untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus,
pada sisi yang lain giat melakukan ajaran agama nenek moyangnya. Dalam hidup keseharian
terjadi pencampuran kedua ajaran agama (sinkretis), yaitu agama leluhur dan Injil Yesus
Kristus. Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromis, permisif dan kebenaran Injil
yang mutlak menjadi relatif. Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada
Adat (agama Hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan.
Sinkretisme orang Kristen Batak dapat kita lihat di dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan
orang Kristen Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya
dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut merupakan
suatu keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang
memerintahkannya. Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara
adat Batak, sering menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah.
Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung
gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Perbedaannya hanya terletak pada orang
yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan
datu digantikan oleh pendeta, tetapi rangkaian upacara adat (agama leluhur) selanjutnya
tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan Yesus dianggap belum cukup, dan perlu
disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan lainnya. Kesempurnaan dan kemutlakan
karya Yesus Kristus telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan
leluhur itu.
Sinkretisme ini bukan hanya terjadi di kalangan gereja -gereja tradisional Batak, tetapi juga
telah merembes kepada orang-orang Kristen Injili yang mengaku Alkitabiah, menjunjung
tinggi keunikan Injil dan lebih giat memberitakannya. Dari mimbar kaum Injili yang ada di
Sumatera Utara sering disuarakan dukungan atas pelaksanaan upacara adat Batak. Merekapun
banyak yang terlibat di dalam pelaksanaan aktivitas tersebut.
Orang Batak telah melupakan prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan gelap,
dan kebenaran tidak dapat dipersatukan dengan ketidakbenaran. Dalam bahasa Tuhan Yesus:
“Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikia n, ia akan
membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang
seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada
Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24).
Seiring dengan merebaknya kembali aktivitas upacara adat di tengah-tengah bangsa Batak,
kemerosotan rohani yang besar terjadi, baik pada kaum awam, maupun pada pemimpin
gereja. Kemerosotan itu nampak pada banyaknya perpecahan dalam gereja Batak, contohnya
kasus perpecahan gereja HKI, GKPI, dan HKBP. Perpecahan itu juga telah terjadi pada hampir
setiap gereja suku di Sumatera Utara. Perpecahan gereja Batak banyak bersumber pada akar
budaya Batak itu sendiri, dan konflik kepentingan di antara pemimpin umat; bukan karena
masalah teologia. Perpecahan yang besar berpuncak pada kasus gereja HKBP yang sangat
menghebohkan, yang telah banyak mengorbankan materi, darah bahkan nyawa manusia.
Semuanya sangat mempermalukan nama Tuhan Yesus.
Kemuliaan dan kehormatan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan Yesus, telah diberikan
kepada iblis dan Pemimpin Jemaat. Wajar jikalau damai Tuhan Yesus tidak ada disana. Seruan
para malaikat di Betlehem mengajarkan bahwa damai Tuhan hanya akan diberikan kepada
orang yang berkenan kepada-Nya, yaitu orang yang memberikan kemuliaan kepada Tuhan
Yesus. “Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi
diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:14). Gereja HKBP (tempat penulis
saat ini bergereja) sering diserukan sebagai “HKBP Na bolon I” (HKBP yang besar), padahal
gelar Na Bolon I tersebut hanya layak diberikan kepada Yesus Kristus.
Gereja yang seharusnya Duta Pembawa Damai di dunia, telah berubah menjadi sekumpulan
orang-orang yang saling berperang. Gereja telah menjadi arena peperangan baru bagi orang
Batak di zaman modern ini. Peperangan bukan hanya terjadi di kalangan kaum awam, namun
juga telah merebak sampai kepada pucuk pimpinan gereja itu sendiri. Sangat tepat dikatakan
bahwa orang Batak telah kembali kepada masa hidup nenek moyangnya, yang ditandai
dengan tingkat konflik yang tinggi, dimana sering terjadi peperangan (marporang) antar
kampung (huta). Konflik di gereja HKBP beberapa tahun belakangan ini merupakan contoh
terbesar dari peperangan antara sesama orang Batak masa kini.
Pemberitaan keselamatan manusia di dalam Tuhan Yesus, yang seharusnya merupakan
kesibukan utama bagi gereja Tuhan, telah berganti dengan banyaknya waktu yang terbuang
untuk mengikuti berbagai upacara adat. Kelalaian dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan
Yesus tidak pernah dinyatakan sebagai dosa yang serius oleh pimpinan gereja. Tetapi,
penolakan aktivitas upacara adat, atau ketidaktepatan pelaksanaan upacara adat segera akan
mengundang komentar yang tajam dan ramai. Perdebatan dan pertengkaran karena masalah
adat merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Kemerosotan rohani dapat kita lihat juga dalam kehidupan sehari-hari. Anda jangan heran,
jikalau pada masa sekarang, banyak orang Batak Kristen yang sangat takut untuk tidak
melakukan upacara adat. Sementara untuk tidak mentaati Firman Tuhan itu merupakan hal
yang dianggap sepele saja oleh mereka. Bahkan, sering dijumpai orang yang lebih senang
dikatakan sebagai orang yang tidak “ber-Tuhan” (ndang martuhan) daripada dikatakan
sebagai orang yang “tidak beradat” (ndang maradat). Tanpa disadari, adat Batak telah kembali
menjadi berhala atau ilah yang dijunjung tinggi di hati orang Kristen Batak.
Kemerosotan rohani juga dapat kita lihat pada banyaknya orang-orang Kristen Batak yang
terlibat berbagai dosa seperti perdukunan, spiritisme (berhubungan dengan arwah orang
mati), memberikan persembahan di kuburan, perzinahan, kebebasan seksual, rentenir,
perjudian, kemabukan, korupsi, suap-menyuap, pembunuhan, kekerasan (premanisme),
perkelahian dan berbagai dosa lainnya.
Dalam dunia pekerjaan, berbagai jabatan yang penting dan strategis di birokrasi dan
pemerintahan, yang pada awal kemerdekaan banyak dipegang oleh orang Kristen Batak, pada
saat ini telah beralih kepada orang-orang lain. Bukan itu saja, peluang untuk mendapatkan
pekerjaan khususnya dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi sangat sulit diperoleh oleh
orang Batak Kristen, kecuali dengan menyogok (ber-KKN).
Kita semua tahu bahwa banyak orang Kristen Batak yang telah menjual imannya (iman
kepada Yesus Kristus), demi memperoleh suatu pekerjaan, pernikahan, pangkat dan jabatan.
Barter harta rohani yang tak ternilai harganya, dengan barang-barang murahan dari dunia ini
telah banyak dilakukan oleh kaum Esau dari Bona Pasogit, Tano Batak. Firman Tuhan dibawah
ini patut menjadi bahan pemikiran kita:
“Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau
akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan TUHAN, Bapamu,
yang kusampaikan pada hari ini engkau lakukan dengan setia” (Ulangan 28:13).
Karena itu, persoalan adat kini harus diselesaikan, karena kita mengetahui bahwa upacara
tersebut telah menimbulkan masalah rohani yang besar. Kita tidak mau membiarkan iblis
memperoleh kembali peluang untuk mencengkramkan kukunya pada generasi Batak saat ini.
Semuanya itu sangat mendukakan hati Tuhan dan mendatangkan murka atas bangsa Batak.
Karena itu sudah merupakan kewajiban dari generasi Kristen Batak pada masa kini untuk
mengevaluasi kembali kehidupan kerohaniannya di hadapan Tuhan Yesus. Evaluasi tersebut
mencakup cara pandang, sikap dan tindakan kita terhadap eksistensi upacara adat.
Evaluasi itu hanya mungkin dilakukan apabila kita mau datang kepada Tuhan Yesus dengan
sungguh-sungguh, dan meminta dengan tekun agar Dia menerangi hati kita, dan
menyingkapkan rahasia Firman-Nya. Karena hanya Tuhan Yesus, melalui Roh-Nya, yang
memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan seluruh kebenaran Firman Tuhan. Sehingga Dia
berkenan mengoreksi segala pemikiran, konsep, nilai, prinsip, cara dan tindakan kita selama
ini. Seruan untuk kembali kepada Tuhan Yesus sangat mendesak untuk diberitakan pada saat
ini. “Wahai bangsa Batak, kembalilah kepada Tuhan Yesus”, “Back to Jesus!”
Semuanya ini hanya mungkin, bila kita mau merendahkan hati untuk dikoreksi dan diajar oleh
Tuhan Yesus, sama seperti seorang anak kecil, yang memiliki kepolosan, keterbukaan dan
kejujuran untuk diajar. Bukan untuk sekedar menambah pengetahuan teologia belaka, tetapi
benar-benar untuk mentaati-Nya. Karena Roh Kudus hanya akan mengerjakan hal tersebut
bila kita dinilai-Nya telah memiliki ketaatan hati, sekalipun kebenaran itu sangat pahit untuk
memulainya (Kisah Para Rasul 5:32).
Karena itu, doa sang Pemazmur sangat relevan untuk dipanjatkan secara sungguh-sungguh
oleh orang-orang Kristen Batak:
“Selidikilah aku, ya Tuhan, dan kenalilah hatiku, ujilah aku dan kenalilah pikiranku;
lihatlah apakah jalanku serong dan tuntunlah aku di jalan yang kekal.” (Mazmur
139:23,24)
Renungan ini mencoba melihat kembali tentang sikap dan pandangan Tuhan terhadap masalah
upacara adat, khususnya yang hidup dalam masyarakat Batak, dengan mengambil contoh
kasus utamanya dari sub suku bangsa Batak Toba. Penulis hanya akan membatasi
pembahasan pada beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pelaksanaan upacara adat,
dan tidak akan menguraikan detail dari pelaksanaan upacara tersebut. Karena melalui
renungan ini, tidak mungkin menguraikan dan mengkaji segala aspek dari berbagai macam
upacara adat yang ada di tengah-tengah masyarakat Batak.
Penulis sadar, bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini sangat bertentangan dengan
pemahaman teologi yang umumnya diyakini oleh masyarakat Batak sekarang. Apa yang
dituliskan disini merupakan suatu pemahaman alternatif, alkitabiah, dan Injili, yang Tuhan
Yesus bukakan secara bertahap kepada penulis. Penguraian ini akan menyentuh hal-hal yang
sangat sensitif di hati orang Batak, yang mungkin akan dapat membangkitkan rasa marah dan
benci bagi sebagian orang. Tetapi penulis berketetapan hati di hadapan Tuhan Yesus untuk
memberitakannya. Kalau Anda mau mencari kebenaran Tuhan, dipersilahkan untuk
membacanya terus.
Pertentangan pasti muncul, karena sudut pandang dalam melihat adat itu memang berbeda.
Pandangan Kristus tidak pernah sama dengan pandangan manusia yang dunia wi. Pandangan
Kristus jauh lebih tinggi dari pandangan duniawi. Penafsiran seseorang mengenai adat istiadat
muncul dari suatu titik pijakan, sikap hati dan tujuan yang hendak dicapainya. Persoalannya,
apakah kita memiliki dasar pijakan yang sama dengan Tuhan Yesus? Kuasa Roh Kudus hanya
akan menyertai dan mengurapi orang-orang yang memberitakan Firman sesuai dengan
maksud-Nya.
Penulis sangat terkejut ketika membaca sebuah buku, yang berjudul “Christ and Culture”
(Kristus dan Kebudayaan), yang ditulis oleh seorang teolog terkenal, yang bernama DR.
Richard Niehbur. Dalam buku tersebut dijelaskan alasan menyebabkan orang-orang Yahudi
dan para pemimpin bangsa tersebut menyalibkan Tuhan Yesus. Niehbur berpendapat bahwa
orang-orang Yahudi membunuh Tuhan Yesus karena segala pengajaran dan tindakanTuhan
Yesus merusak adat istiadat dan agama Yahudi, yang sangat mereka banggakan. Akhirnya,
mereka harus memilih, antara membinasakan Tuhan Yesus atau membiarkan agama dan adat
istiadat Yahudi hancur. Demi mempertahankan keutuhan adat dan agama tersebut, mereka
memilih untuk membinasakan Tuhan Yesus, orang yang dianggap sebagai sumber kerusakan
itu.
Peristiwa tersebut menjadi pelajaran, sekaligus tantangan bagi kita sebagai pengikut Kristus
didalam menghadapi kontroversi masalah adat. Yesus Kristus hadir di tengah-tengah
kemerosotan rohani bangsa Israel yang menjalar di seluruh bidang kehidupan. Dia segera
mengenali ketidakberesan bangsa tersebut dalam cara pandang dan sikap terhadap Firman-
Nya. Lalu, dari mulut-Nya yang kudus keluar penilaian dan koreksi-Nya terhadap agama dan
adat istiadat bangsa tersebut.
Demikian juga bagi bangsa Batak, di tengah-tengah kemerosotan rohani yang terjadi masa
kini, sangat diperlukan kembali adanya suatu reinterprestasi dan pembaharuan sika p akan
eksistensi upacara adat Batak yang berasal dari masa kegelapan itu. Dengan kata lain, gereja
Tuhan di tanah Batak sangat memerlukan “reformasi iman” dalam kehidupan rohaninya.
Karena itu, kita ditantang Tuhan untuk mengambil sikap, antara menyuarakan Injil atau
mempertahankan berbagai upacara adat tersebut.
Karena itu, penulis akan memaparkan beberapa prinsip utama yang mendasari upacara adat
yang sangat bertentangan dengan Injil. Melalui beberapa prinsip itu kita akan melihat strategi
iblis untuk mengikat dan mengendalikan hidup masyarakat Batak. Strategi itu juga merupakan
benteng rohani yang dibangun oleh iblis agar masyarakat Batak dapat diperhambanya dari
generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian umat Tuhan akan kehilangan kekuatan
rohaninya dan hidup dalam kekalahan rohani terhadap kuasa iblis dan roh-roh jahat. Selain
itu, semangat dan kuasa untuk memberitakan Injil dapat dipadamkan dari tengah-tengah
Jemaat Batak, seperti yang terjadi saat ini.
Dalam perbincangan sehari-hari, penulis sering mendengar keluhan dari orang-orang Batak
tentang masalah adat. Banyak yang mengungkapkan keinginannya untuk terlepas dari
upacara adat karena melihat tidak ada keuntungannya, bahkan menyalahi Firman Tuhan.
Sayangnya, sangat sedikit dari mereka yang memiliki keberanian untuk melakukannya.
Umumnya, mereka mengambil jalan aman dengan tetap melibatkan diri, daripada terlibat
konflik dengan sesama kerabat atau jemaat gerejanya. Orang Batak telah kehilangan “darah”
dalam menegakkan dan menyuarakan ajaran Injil.
Pada awal milenium ketiga ini, dimana saat kedatangan Tuhan Yesus semakin dekat,
dibutuhkan adanya suatu kebangunan rohani di tengah-tengah bangsa Batak. Kebangunan
rohani akan dimulai, jikalau ada orang-orang Batak yang memiliki cara pandang dan sikap
yang lebih tajam dan Injili didalam menilai eksistensi upacara adat, serta memiliki keberanian
untuk menyuarakannya pada zaman ini. Karena hanya orang-orang yang seperti ini yang akan
diperlayakkan TUHAN untuk memasuki arena peperangan rohani melawan kuasa-kuasa
kegelapan, yang telah membelenggu, membutakan serta melumpuhkan kehidupan umat
Tuhan di tanah Batak. Kemenangan pasti menjadi milik kita.
Kepada orang yang benar-benar mencintai Tuhan Yesus dengan segenap hatinya, perlu
dibukakan berbagai bentuk benteng rohani yang telah dibangun oleh iblis dalam upaya
menguasai, membelenggu, dan memperbudak bangsa Batak dari satu generasi ke generasi
lainnya. Pengertian ini akan menolong mereka untuk dapat terlepas dari segala jerat iblis di
dalam adat Batak, dan beribadah kepada Tuhan Yesus dalam kebenaran dan kekudusan
seumur hidupnya.
Penghancuran benteng-benteng iblis yang ada dalam diri orang Batak akan menghasilkan
saksi-saksi Kristus yang diurapi dengan keberanian dan kuasa Roh Kudus. Sehingga pada awal
abad ke-21 ini akan bangkit orang-orang Kristen Batak yang dipakai oleh Tuhan dalam
menyelesaikan Amanat Agung-Nya, dengan melepas mereka dari genggaman kuasa iblis.
Dengan demikian kita dapat mempersiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya,
dalam rangka menyambut kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali, yang waktunya sudah
semakin sangat dekat.
Renungan ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang mau mengasihi Tuhan Yesus dengan
segenap hatinya, yang mau dipakai-Nya dalam peperangan rohani. Yaitu, kepada mereka yang
memiliki keprihatinan rohani (sense of spiritual crisis ) terhadap nasib bangsa Batak; kepada
orang-orang yang mau mencari Kerajaan Sorga dan mau mengikut Tuhan Yesus dengan
sungguh-sungguh. Karena hanya merekalah yang mau memikul salib Kristus sebagai
konsekuensi atau harga dari ketaatan pada Injil untuk meninggalkan upacara adat Batak.